01. Ruang rekam e-KTP.

551 105 15
                                    

Siang ini kecamatan begitu ramai oleh berbagai kalangan yang ingin mengurus surat-surat;kartu keluarga, e-KTP, dan keperluan lainnya.

Para pegawai kecamatan juga tampak sibuk dengan tugas mereka masing-masing, termasuk Ata—pegawai termuda di kantor camat tersebut, kini tengah sibuk melakukan rekam data untuk e-KTP. Hari ini cukup banyak yang melakukan perekaman, rata-rata anak berseragam SMA.

Para remaja itu begitu semangat untuk membuat KTP, berbanding sekali dengan dirinya dulu. Ata baru bikin KTP saat mau masuk kuliah.

Ata meregangkan tubuhnya saat sesi perekaman e-KTP telah berakhir untuk hari ini, cukup banyak juga yang melakukan perekaman hari ini. Matanya melirik ke arah jam, sudah jam empat lewat. Masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikannnya, baru setelah itu ia bisa pulang.

Ata meraih ponselnya, mengecek beberapa pesan yang masuk. Hingga suara ketukan mengalihkan perhatiannya, seorang pria dengan postur tubuh tinggi berdiri tegap diambang pintu. Ata tak dapat melihat jelas wajah pria tersebut karena tertutup masker tapi dari ngelihat matanya saja ia dapat menebak seperti apa rupa pria tersebut.

Pria itu berdehem pelan, sepertinya sadar jika dirinya diperhatikan segitunya oleh petugas camat tersebut. "Maaf mas, tadi saya disuruh masuk kesini sama petugas di depan."

"Oh iya, ada yang bisa saya bantu?" Ata tersenyum ramah sembari mempesilahkan pria tersebut untuk duduk.

"Jadi begini mas, saya kan lagi ngurus KTP saya yang hilang jadi sekalian saja saya mau ganti data dan foto KTP saya yang lama." Terang pria tersebut.

"Yahh mas, layanan rekam e-KTP baru aja tutup mas. Besok lagi bisanya." Sesal Ata.

"Saya telat ya? Padahal saya udah ngebut dari pengadilan tadi tapi tetap aja telat ya. Gak bisa kalau sekarang ya mas? Saya gak tau kapan bisa ngurus lagi."

Ata tampak perpikir, kasihan juga ngelihat pria itu kelihatan kecewa. "Ya udah deh mas, saya tolongin. Boleh saya lihat berkasnya gak?"

"Loh? Gak apa-apa mas?"

Ata tersenyum sembari mengangguk, "Iya mas, lagian jam kerja saya juga belum selesai kok."

Dari matanya pria itu, Ata dapat menebak jika ia tengah tersenyum dibalik masker hitamnya. Ata menerima berkas yang dibawa pria tersebut berupa KK, akte kelahiran dan juga surat kehilangan dari polisi.

Aksa Jamal Prayata, nama yang tertulis di akte kelahiran. Tanggal lahir, 14 Februari 1990. Tujuh tahun lebih tua dari Ata—untuk apa juga ia memikirkan jarak usia mereka, tak ada gunanya juga. Ata lalu beralih pada kartu keluarga pria bernama Aksa itu, hanya dua kolom yang terisi dan nama Aksa berada di urutan pertama.

Sempat mengira jika pria tersebut telah menikah, namun melihat status hubungannya dengan pemilik nama lainnya yang tertera disana membuat ia merasakan sedikit angin segar. Mereka hanya saudara kandung.

"Saya imput datanya dulu ya mas." Taeyong berucap sembari melakukan beberapa perubahan data di KTP lama Aksa. "Ini statusnya masih sama kah mas?"

"Iya, masih."

Beneran belum nikah, bisik Taeyong dalam hati. Padahal ia modus doang nanyain status pria tersebut. Dilihat dari foto KTP lamanya yang Ata tebak ketika pria itu masih SMA atau awal mula kuliah, sudah terlihat tampan. Definisi foto KTP idaman semua orang—gak ada aib-aibnya.

"Lucu ih." Ujar Taeyong tanpa sadar.

"Kenapa mas?"

"Oh, maaf. Itu, nama mas sama pekerjaan mas cuman beda sehuruf doang. Aksa, Jaksa. Bisa pas gitu ya."

Mas Jaksa ( Jaeyong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang