Nerd | 45

41.6K 4.4K 123
                                    

Leta tersedak saat minum karena seseorang dari belakang menepuk punggungnya. Dia mendengus, melihat kesal pada sang pelaku.

“Lo punya dendam apa sih sama gue?” tanyanya tidak santai. Yang ditanya tak menjawab melainkan duduk di sebelah Leta, menopang kepalanya dengan tangan kanan, menatap wajah Leta.

“Lo mau ngomong apa sama gue, sih?!”

“Lo sebenernya mau nyari informasi dari Devin atau lo mau nyuri hatinya sih, Ta?” Leta mendengus.

“Menurut lo? Gue tertarik sama Devin? Kedatangan gue ke sini ya cuma satu, nyari tau kebenaran di balik kematian Ara!”

“Terus maksudnya Devin ngajak lo ketemuan lewat pengeras suara itu apa? Katanya lo mau nyari informasi lewat Devin.” 

Leta balas menatap ke arah Leo. “Ini urusan gue, lo jangan ikut campur, Le. Terserah gue mau nyari informasi dengan cara apapun! Dan tentang Devin, gue rasa dia emang nggak sengaja ada di sekolah pada malam itu.”

“Lo percaya gitu aja sama dia? Ta, siapapun bisa jadi tersangka di sini.” Leta berdecih.

“Berarti lo juga bisa jadi tersangka dong?” tanya Leta datar. Pandangannya lurus ke arah Leo.

“Kok jadi gue, sih?!”

“Lo yang mulai duluan, lo bilang semua orang bisa jadi tersangka. Lo juga bisa termasuk ke dalamnya, kan?”

Leo menghela napasnya panjang. Sedikit frustasi menghadapi sifat saudara kembarnya itu.

“Dan lo, mau percaya gitu aja sama Devin?” Leta mengangguk mantap membuat Leo menggeleng tak percaya.

“Walaupun Devin anak nakal, tapi gue yakin dia nggak ada sangkut pautnya sama kematian Ara.” Entahlah, Leta pun tidak tahu mengapa bisa sepercaya ini dengan Devin.

“Gue saranin lo jangan terlalu percaya sama siapapun, termasuk Devin!”

“Lo punya dendam tersendiri sama Devin?” Leo menggeleng sebagai jawaban.

Menurut Leta, Devin mengatakan semuanya pada malam kematian Ara dengan benar. Dan entah sejak kapan Leta sangat mempercayai lelaki itu.

“Terus, lo mau pergi sama dia?”

Leta menyenderkan kepalanya pada kursi, lalu berkata, “Gue percaya sama dia bukan berarti gue mau pergi bareng dia, kan?”

***

Sudah berjam-jam Devin duduk di bangku taman. Tujuannya hanya satu, menunggu kedatangan gadis yang diam-diam berhasil memasuki hatinya.

“Leta nyasar apa gimana, sih?”

Devin duduk dengan gusar, berkali-kali mengecek ponselnya. Memastikan ada pesan yang masuk dari Leta atau tidak. Dia menatap sekeliling, menunggu sangatlah membosankan.

“Gue kenapa jadi tolol kayak gini?” 

“Ah, ini semua karena si Leta itu. Dasar cupu! Berani banget udah ngebuat gue nunggu kayak gini.” Devin tertawa menertawakan dirinya sendiri.

Entahlah, mengapa dirinya bisa sampai seperti ini. Apakah dirinya benar-benar sudah jatuh pada pesona gadis yang bernama Leta?

Devin menghela napasnya. Tiba-tiba bayangan Leta muncul, dia tersenyum mengingat gadis itu. Sial, mengapa memikirkan gadis itu sangat menyenangkan seperti ini?

Devin mengerjapkan matanya, melihat ke atas. Awan yang tadinya cerah berubah menjadi hitam. Pertanda hujan akan datang. Satu persatu air hujan turun membasahinya.

“Lihat? Hujan aja mau turun ketemu sama gue. Masa iya, lo nggak mau ketemu sama gue sih, Ta?” tanyanya bak orang bodoh.

Hujan turun semakin deras, tapi dengan bodohnya Devin tetap duduk di sana menunggu hal yang belum pasti. Bodoh? Kata yang sangat tepat untuk lelaki itu.

***

Leta menghela napasnya, menatap lelaki yang duduk di hadapannya. “Ada yang mau lo sampein ke gue?”

Nampak lelaki di hadapannya sedang mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan sesuatu terhadapnya.

“Gue mau minta maaf.” Sebuah kalimat yang baru saja keluar dari mulut lelaki yang bernama Ferdi mampu menjelaskan semuanya.

Leta mengangguk. “It’s okay. Toh, gue udah menduga kalo lo nggak bisa nyari tau semuanya.”

“Gue bener-bener minta maaf. Sebagai sahabat lo, gue ini emang nggak berguna.” Ferdi menunduk.

Leta menggenggam tangan Ferdi. “Gue bilang nggak papa, yang penting lo udah berusaha buat bantu gue, kan? Itu aja udah cukup bagi gue. Makasih karena udah mau usaha bantu gue.”

Ferdi akhirnya bisa tersenyum ketika mendengar kalimat itu. Ditatapnya gadis yang ada di hadapannya ini. “Jangan berterima kasih sama gue, gue nggak sebaik yang lo kira, Ta.”

Leta menatap Ferdi dengan penuh tanya. Sebelum dia bertanya kembali, lelaki itu mengeluarkan kalimatnya terlebih dahulu. “Ta, lo nggak nemuin Devin?” Leta mengerutkan keningnya bingung.

“Buat apa?”

“Bukannya Devin ngajak lo buat ketemuan ya? Lo lupa ya? Ini hujan, kalo dia masih nunggu lo gimana?”

Leta tersenyum singkat. “Gue males ketemu sama dia, paling tuh bocah juga udah pergi.”

Ferdi terkekeh mendengar jawaban itu. “Lo nggak ada rasa tertarik walau sedikitpun sama dia?” Dengan cepat Leta langsung menggeleng.

“Jadi gue bisa ngomong sama lo dong?” Leta menatap Ferdi lekat. Menunggu lelaki itu melanjutkan kalimatnya.

“Kenapa? Ada masalah?”

“Gue rasa...iya.”

Ferdi memandangi Leta lama. Lalu menggenggam tangannya lama. “Nggak jadi deh.”

Setelah itu, Ferdi langsung mendapat sebuah pukulan di kepalanya. Bukan pukulan ringan, namun Leta benar-benar memukulnya dengan keras yang mampu membuatnya meringis.

“Kenapa lo mukul gue?”

“Lo nyebelin! Gue kira lo mau bilang sesuatu yang penting!” Ferdi sedikit tertawa melihat respon gadis di hadapannya.

“Kalo gue bilang gue suka sama lo. Reaksi lo bakal gimana?”

“Biasa aja sih, soalnya lo pasti bercanda, kan?”

Ferdi diam, detik berikutnya mengulas senyum kecil. “Jelaslah gue bercanda, ya kali gue suka sama singa betina kayak lo.”

Leta langsung mendelik tajam, Ferdi langsung tertawa melihat wajah Leta. Kemudian, sepi menghampiri mereka berdua sampai, Leta melihat hal yang sedikit menarik perhatiannya.

“Sa, jaket itu punya lo?” tanya Leta menunjuk jaket yang disampirkan di kursi Ferdi. Lelaki itu mengambilnya. 

Jaket itu sama persis dengan jaket yang dipinjamkan oleh Devin saat Leta dikerjai oleh Citra, dan jaket itu juga sama persis dengan jaket lelaki yang mendengar pembicaraannya waktu di perpustakaan bersama dua cewek.

“Ini? Bukan punya gue, tapi Leo.” Jawaban Ferdi mampu membuat Leta mengerutkan keningnya.

“Leo?” Ferdi mengangguk.

“Iya, jaket ini punya Leo. Tapi gue sering gue pinjem, bukan cuma gue sih. Devin sama Adriel juga sering pinjem jaket ini. Lo ada masalah sama jaket ini?”

Leta menggeleng. “Enggak, gue boleh pinjem jaket itu?”

Ferdi mengangguk, lalu menyerahkan jaket itu pada gadis yang kini duduk di hadapannya.

“Buat apa sih?”

Leta mengulas senyum. “Pengen pinjem juga, hehe.” Ferdi hanya bisa menganggukkan kepalanya.

“Ta, gue rasa lo harus tau tentang ini. Gue udah ngasih tau kalo gue itu Kasa ke Leo.” Leta memperbaiki cara duduknya, menatap Ferdi dengan antusias.

“Terus reaksi dia gimana?”

“Biasa aja,” ucapnya dengan ekspresi datar. Leta pun hanya menganggukkan kepala.














Tbc...

Sampai di sini, menurut kalian siapa yang paling mencurigakan?

NERDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang