chapter twenty-two : fou d'amour

549 90 25
                                    



"There is only one happiness in life, to love and be loved."



JOYCELINE berhenti melangkah sejenak di tengah-tengah hamparan perkebunan teh yang sore ini menjadi destinasinya untuk menenangkan diri

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

JOYCELINE berhenti melangkah sejenak di tengah-tengah hamparan perkebunan teh yang sore ini menjadi destinasinya untuk menenangkan diri. Di tangan kanannya sekarang terdapat sebuah gulungan kertas berisi desain rumah di tepi pantai yang dia gambar sepuluh tahun lalu ketika masih bersama Jonathan. Laki-laki itu mengembalikannya pada Joyce tiga hari yang lalu sebelum dia berangkat ke Bandung.

Joyce membuka kembali gulungan kertas tersebut dan memandangi gambarnya—gambar dari rumah impiannya semasa remaja. Il Mare. Sebuah rumah minimalis dua lantai yang dibangun menghadap ke arah pantai. Ada beberapa bagian dindingnya yang terbuat dari kaca, salah satunya bagian kamar di lantai dua yang menghadap ke arah matahari terbenam.

"Kamu masih simpan gambar ini sampai sekarang?" Joyce bertanya pada Jonathan begitu dia membuka gulungan kertas yang laki-laki itu ulurkan padanya. Napasnya sedikit tercekat ketika melihat gambar rumah di tepi pantai yang dia buat sepuluh tahun lalu. Joyce bahkan hampir lupa dia pernah menggambar ini. "After all these years, Jonathan... why?"

"I cherish every memory you left behind as much as I can after we broke up, Joyceline." Jonathan berusaha tersenyum ketika menjawabnya. Bukan karena raut wajah Joyce yang tidak terbaca ketika melihat gambaran rumah impiannya yang dulu dia gambar sendiri, melainkan karena dia mengingat penyebab kenapa mereka berpisah dulu. Dia tidak akan pernah bisa melupakan hal ini, sama seperti Joyce—tidak akan pernah lupa kalau dia adalah penyebab dari lukanya yang mungkin tidak akan pernah bisa sepenuhnya sembuh. "Always."

"This was suppose to be our happily ever after." Joyce kembali menggulung kertas tersebut, kemudian sedikit menengadah untuk menatap Jonathan yang berdiri tiga langkah darinya. Dia sama sekali tidak bercanda. Jonathan yang dulu dia pikirkan ketika menggambar Il Mare—rumah impiannya. "But unfortunately happily ever after doesn't exist between us. There's no happily ever after between us."

"Not ours, but yours." Jonathan mengoreksi perkataan Joyce. "That was suppose to be your happily ever after, Joyce. Ingat apa yang pernah aku bilang dulu waktu kamu kasih tahu aku soal mimpi kamu yang pengin punya suami arsitek?" Dia mengambil satu langkah maju, tidak terlalu lebar sehingga masih ada jarak yang cukup di antara mereka, lalu melanjutkan dengan, "Dengan jadi arsitek, aku bisa mewujudkan gambaran rumah masa depan yang kamu inginkan. Entah kita bakal berakhir sebagai pasangan atau bukan, seenggaknya aku tetap punya andil buat mewujudkan keinginan masa remaja kamu, Joyceline. That would be my greatest honor."

Joyce menekan bibirnya membentuk garis lurus. Matanya mendadak terasa panas dan pandangannya memburam. Selama beberapa tahun terakhir, dia terbilang jarang—hampir tidak pernah malah—menangisi hal-hal sepele, karena hal seperti itu hanya akan membuat topeng yang selama ini susah-payah dia pasang luntur secara percuma. Tapi coba lihat dirinya sekarang. Hanya dengan mendengar Jonathan mengatakan ulang hal yang pernah dia katakan sepuluh tahun lalu saja membuatnya tiba-tiba merasakan desakan untuk menangis. Hormon kehamilan memang menyebalkan.

BITTERSWEET LOVEDonde viven las historias. Descúbrelo ahora