46. ANGGARA

1K 53 0
                                    

Selamat membaca~

.
.
.
Ganis mendongak menatap langit malam yang polos tanpa bintang, surai hitam panjangnya dibiarkan terurai, diterbangkan angin malam yang sama sekali tidak mengusik cewek itu dengan dinginnya.

Ia sudah membaca semua isi buku milik Galang, dan benar yang dikatakan Lingga, Galang menulis banyak hal di sana.

Bukan sebuah buku diary, lebih mirip ke buku latihan sebelum public speaking. Banyak coretan di sana, Ganis bahkan bisa merasakan seberapa frustrasi Galang saat merangkai kalimat-kalimat itu. Karena dirinya sendiri juga tidak terlalu pandai dalam hal berkata-kata.

Ganis mengusap lengannya yang hanya dibalut sweter rajut tipis, kepulan asap keluar bersamaan dengan embusan napasnya. Pertanda udara malam ini memang begitu dingin.

Hingga sebuah jaket menyentuh punggung Ganis, membuat cewek itu menoleh cepat, kaget.

"Audrey?"

Audrey tersenyum, dia menarik Ganis agar masuk ke rumah dan duduk di ruang tamu. Bukan sekali dua kali Audrey berkunjung ke sini, mereka sering kerja kelompok bareng di rumah Ganis yang terasa paling nyaman dan tenang walau di antara teman-temannya, rumah Ganis terbilang paling sederhana.

"Berapa lama di luar sampai hidung lo merah gitu?" tanya Audrey begitu kembali dari dapur membawa nampan yang di atasnya terdapat dua gelas teh hangat.

Ganis tersenyum tipis. "Sebenarnya siapa tuan rumahnya?"

"Katanya anggap rumah sendiri," balas Audrey, mengutip kalimat yang pernah Ganis ucapkan saat ia pertama kali berkunjung.

Audrey mengenal Ganis saat SMA, begitupula dengan Cecil. Mereka bertemu di salah satu kegiatan MOS, dulu Ganis dan Audrey satu kelas MOS, sementara Cecil dari kelas tetangga. Perbedaan kelas ini dikarenakan bagaimana cara mereka mendaftar. Audrey dan Ganis adalah siswi beasiswa, sementara Cecil lewat jalur mandiri.

Mereka berkenalan secara random karena sebelahan, lalu mendapat kelas yang sama dan akhirnya bersahabat sampai sekarang.

Ganis yang tidak suka berbagi masalah ini beberapa kali bercerita pada Audrey, terlebih soal Lingga karena cewek itu terlanjur mendengar dari obrolan mereka.

Cecil tahu, hanya saja tidak sedetail Audrey. Cecil lebih sering sibuk dengan urusannya, menjadi putri tunggal membuat Cecil harus memanggul banyak tanggung jawab atas keluarnya, dia bahkan ikut banyak bimbingan.

Tenang, Cecil ikut atas kehendaknya sendiri. Dia tertarik dengan bimbingan dan les tambahan walau kadang terlihat malas saat di sekolah.

Mungkin saja, menyibukkan diri dengan banyak kegiatan apalagi yang membuatnya berpikir adalah cara Cecil melupakan kesepiannya menjadi seorang putri tunggal pengusaha super sibuk.

Kembali lagi pada Audrey dan Ganis yang kini malah saling diam. Ganis menghangatkan tubuhnya dengan teh buatan Audrey, sementara si tamu rasa tuan rumah membuka pesan yang baru masuk ke ponselnya.

"Senin ini UKK, ya," ujar Ganis tiba-tiba, membuat Audrey mengalihkan perhatiannya. "Padahal gue ada niat ajak Galang jalan-jalan waktu liburan, ke rumah Nenek yang lama. Ketemu sama teman-teman kecil dia, sekalan ngerayain ulang tahun Galang ke 16."

Air mata kembali mengalir dari sudut mata Ganis, cewek itu menunduk menatap gelas teh yang masih mengepulkan asap.

Audrey meletakkan ponselnya di atas meja tanpa membalas pesan tadi, dia beranjak dan duduk berlutut di samping Ganis, merangkul sahabatnya itu dari samping.

"Mau mengunjungi Galang?"

Ganis menatap Audrey yang kini tersenyum tipis padanya. Audrey tahu Ganis belum mengunjungi makam Galang lagi sejak Adik laki-lakinya itu dikebumikan. Bukan karena malas atau alasan tidak ada waktu, melainkan karena Ganis tidak ada keberanian untuk mendekati pusara sang Adik.

ANGGARA [SELESAI]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang