PROLOG

51 11 0
                                    

♬♩♪♩ ♩♪♩♬

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

♬♩♪♩ ♩♪♩♬

Cahaya matahari pagi menembus jendela kaca yang berjejer di sisi koridor, menerangi jalanku menuju ruang musik. Rasa menggigil yang menyergap tubuh perlahan menghilang akibat sinar mentari yang hangat. Di antara senyapnya suasana, dapat kudengar suara-suara melodi nan samar yang tercipta dari alat-alat musik.

Aku tersenyum. Tampaknya, anak-anak didikku tetap bersemangat hari ini. Terbukti dari betapa awalnya mereka datang.

Sesampainya di depan ruang musik, aku langsung menggeser pintu dan melangkah masuk. Kedatanganku langsung disambut dengan pemandangan para anggota yang mengenakan kaos putih polos pendek dengan celana training hitam sebagai bawahan. Senyuman dan sapa selamat pagi terucap bersahutan, menyambut kedatanganku dengan hangat. Sebagai seorang guru yang baik, tentu aku membalas perlakuan ramah mereka― tersenyum dan balik menyapa.

Aku langsung berjalan ke depan stand music sheet-ku yang berada di bagian depan-tengah ruangan, membuka ke halaman susunan partitur yang kami mainkan sebagai latihan selama dua minggu ini.

"Baiklah anak-anak, langsung kita mulai saja, ya," ujarku dengan senyuman. "Bagi yang masih berdiri, segera duduk di posisinya masing-masing."

Mereka menjawab serentak. "Baik, Pak!"

Lihatlah jawaban bersemangat mereka! Sangat sesuai dengan bayangan tim ansamble ideal dalam pikiranku!

Aku mengangguk puas. Setelah semua murid yang ada di dalam ruangan duduk pada tempatnya masing-masing, aku menyapu pandanganku ke sekitar. Kuamati satu per satu anggota.

Awalnya tidak ada masalah, hingga mataku menangkap sebuah keganjalan.

Dapat kurasakan dahiku berkerut tatkala terdapat satu posisi yang kosong. Hanya ada satu pemain eufonium, ke mana seorang yang lain?

Aku memutuskan untuk bertanya, berusaha untuk tidak berprasangka buruk. "Apa Klee belum datang?"

Seorang gadis bersurai keabuan dengan mata sayu mengangkat tangan. Aku lantas mengangguk, memberi kode bahwa aku telah mengizinkannya untuk berbicara.

"Klee sebenarnya sudah datang, Pak. Tapi, dia tiba-tiba keluar sambil membawa eufoniumnya."

"Apa kau tahu dia pergi ke mana, Sayu?"

Gadis berambut keabu-abuan itu menggeleng. "Saya tidak mengikutinya. Saya pikir, dia hendak menenangkan diri sejenak. Akhir-akhir ini, saya sering melihat dia berekspresi kesal setiap kali selesai latihan."

"Begitu, ya."

Aku berdeham dan mulai berpikir. Kesal? Apa mungkin, Klee masih belum menerima perannya yang memainkan eufonium? Hanya itu pradugaku untuk saat ini.

𝐒𝐡𝐞 𝐖𝐡𝐨 𝐋𝐨𝐯𝐞𝐬 𝐄𝐮𝐩𝐡𝐨𝐧𝐢𝐮𝐦 || 𝚅𝚎𝚗𝚕𝚞𝚖𝚒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang