Di Antara Lelaki

28 9 10
                                    

3 Juli 2022

Alita mengerutkan kening, lelaki yang tersenyum padanya ini terlihat tidak asing, tetapi ia lupa di mana pernah mengenalnya.

“Anaknya Pak Rahmat, bukan, sih?” Dika bertanya dengan ragu.

“Iya, Bang.” Lelaki itu mengangguk, mengulurkan tangan, yang langsung dijabat oleh Dika. “Bang Dika, apa kabar?”

“Baik.”

“Belum ingat?” Lelaki itu menatap Alit yang terus memperhatikannya.

“Damar?” Akhirnya Alit berhasil mengingat namanya.

Damar mengangguk. Senyum yang sedari tadi menghiasi wajahnya semakin melebar.

Alit meraih kursi plastik dari meja sebelah, meletakkan di sisi meja yang pendek. Kemudian menepuk kursi tersebut, meminta Damar bergabung bersama mereka.

Damar mengangguk sebagai tanda terima kasih. Ia melihat tiga pemuda lain yang duduk bersama mereka. “Hai.”

“Hai.” Arfan, Tito, dan Irwan mengangkat telapak tangan, dan menjawab dengan kompak.

Mereka melanjutkan makan setelah membalas sapaan Damar. Lelaki yang baru bergabung itu mengobrol dengan Alit, karena yang lain sedang makan. Ia takut membuat mereka tidak nyaman.

“Wah, padahal aku udah lama di sini, tapi enggak pernah ketemu kamu, ya?” ucap Damar.

Sudah tiga bulan Damar tinggal bersama orang tuanya. Setelah menamatkan SMP, Damar pindah ke kampung halaman ayahnya, tinggal bersama nenek sebelum beliau meninggal setahun lalu. Lelaki itu menyelesaikan pendidikan, baru kembali tinggal bersama kedua orang tuanya.

“Aku-kamu. Kayak orang pacaran.” Ledekan Arfan itu mendapat hadiah sepakan kaki dari Alit.

Arfan mengaduh, sambil mengusap betis. “Sadis banget, sih!” serunya pada Alit. Yang lain hanya terkekeh.

“Temen kuliah?” tanya Damar setelah mendengar cerita mereka.

Alita mengangguk.

“Selain itu, mereka ini Genk Motor. Nih, ketuanya,” ucap Dika sambil menunjuk pada adik perempuannya.

“Idih.” Alita mencebik.

“Loh, bener, kan? Kalian ke mana-mana naik motor,” jelas Dika.

“Jangan lupa, lo yang biasa main tunjuk. Ke sini, ke situ,” tambah Tito. Yang lain mengangguk, membenarkan ucapan itu.

“Jangan dengerin mereka. Enggak jelas!” Alit membela diri, tidak ingin terlihat buruk di mata teman lama yang baru bertemu itu.

 Mereka memang suka mengendarai motor, tetapi hanya motor matic yang biasa mereka bawa ke kampus. Hanya Rudi dan Jamal yang mengendarai motor besar mereka. Jika ingin jalan ke mal, atau ke tempat lain, mereka hanya perlu berkendara beriringan. Lebih seru menurut mereka. Dan benar, Alit lebih sering menentukan tempat tujuan mereka.

Damar terkekeh. Hidup sekali kelompok ini. Mereka pasti banyak bersenang-senang. Sepertinya seru jika menghabiskan waktu bersama mereka.

Mereka memutuskan untuk pulang setelah mengobrol lama. Tidak pulang ke rumah masing-masing, tetapi pulang ke rumah Alit.

Arfan melempar kunci motor pada Alit, yang langsung refleks ditangkap oleh gadis itu.

“Sini, biar aku yang bawa.” Damar mengulurkan tangan, meminta kunci dari tangan Alit.

“Biarin Alit yang bawa. Lo duduk manis aja.”  Arfan menepuk pundak Damar, sebelum berlari menghindari tendangan Alit. Ia menghampiri Irwan yang sudah siap dengan motornya. Sementara Tito sudah melaju bersama Dika.

Damar sedikit ragu saat Alit meminta untuk naik ke boncengan. Ia jarang mengendarai motor, apalagi dibonceng oleh perempuan. Wajahnya menggambarkan keraguan dengan jelas.

“Aman. Ayok. SIM gue bukan hasil nembak,” ucap Alit. Meskipun ragu, akhirnya Damar naik di belakang Alit.

Hanya butuh lima menit untuk sampai di rumah Alit. Jamal dan Rudi juga sudah bergabung ketika Alit sampai. Mereka memang sengaja membuat janji berkumpul di rumah gadis tersebut.

“Aku pulang dulu, deh,” ucap Damar. Ia tidak yakin ingin berkumpul dengan teman baru, padahal dirinya habis berolahraga, dan pastinya berkeringat. Setidaknya jika mandi dan berganti baju, pasti lebih nyaman.

“Udah, ayok.” Alit menarik lengan teman lama yang baru bertemu kembali itu.

“Wah. Alit pulang dari taman bawa pacar.” Rudi meledek Alit yang menggandeng lengan Damar.

Alit melepas tangan Damar dan menunjukkan tinjunya dari jauh pada Rudi. Mereka semua terkekeh, duduk nyaman di sofa, ada yang duduk di karpet.

Dika kembali dari dapur dengan membawa minuman dingin dan camilan.

“Gabung, aja.” Alit meminta Damar bergabung dengan teman-temannya. Ia ingin mandi terlebih dahulu. Tubuhnya berkeringat setelah berlari empat putaran di taman tadi.

“Bang, numpang ke kamar mandi, dong,” ucap Damar pada Dika.

“Boleh.” Dika menunjukkan letak kamar mandi yang memang disediakan untuk tamu.

Damar mencuci muka dan membersihkan diri sekedarnya, agar sedikit merasa nyaman. Sementara yang lain, tidak merasa perlu membersihkan diri, mereka pergi ke taman memang untuk sarapan. Tujuan mereka dari awal memang nongkrong di rumah Alit. Berpakaian olahraga hanya untuk mempermudah ijin keluar rumah pagi hari.

Mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol dan bermain gim. Damar mencoba berbaur dengan mereka, tetapi mereka memang berbeda dengan lingkar pertemanan Damar selama ini. Hal itu membuatnya sedikit canggung.

“Lo sudah lulus?” Alit terkejut mendengar kenyataan Damar sudah menamatkan kuliah S1-nya. Padahal mereka dulu satu angkatan. Alit kini baru memulai tahun akhir perkuliahan, bagaimana bisa Damar sudah lulus?

Damar mengangguk. “Aku ikut kelas akselerasi. SMA-ku cuma dua tahun.”

“Wah, anak pinter,” komentar Irwan.

“Cocok dijadiin pacar, Lit,” timpal Rudi.

Mereka tertawa dan terus mengejek Alit. Damar hanya menggeleng melihat tingkah mereka. Meski ia berharap bisa lebih dekat dengan Alit, tetapi gadis itu seperti membuat benteng tinggi untuk melindungi diri sendiri. Itu yang dirasakan oleh Damar. Ia pernah merasakan cinta monyet pada Alita dulu, tetapi Damar memang tidak pernah mengungkapkannya.

“Wah. Wah. Wah. Lagi ngumpul.” Ayah Alit yang baru saja datang menyapa. Sudah biasa mereka melihat anak-anak ini berkumpul di rumah.

Mereka bangkit, menyalami ayah Alit. Meski bagaimanapun, mereka tetap harus menghormati orang tua.

“Mana yang bakal jadi mantu Babe?”

“Tunjuk aja, Be. Babe mau yang mana, kita siap.” Arfan yang menimpali ucapan ayah Alit, yang biasa mereka panggil babe.

Babe tertawa mendengar jawaban Arfan. Sebenarnya ia khawatir pada anak gadisnya, yang selalu berteman dengan lelaki. Alit jarang punya teman perempuan. Dari waktu masih sekolah dulu, Arfan inilah yang sudah menjadi teman Alit. Kemudian bertambah dengan teman lelaki yang lain, saat memasuki bangku kuliah.

Ibu Alit meninggal dunia ketika gadis itu masih berusia lima tahun. Ia tumbuh menjadi gadis tomboi, karena memang sedari kecil di bawa oleh ayahnya mengajar karate di sanggar miliknya. Atau terkadang Alit kecil ditinggal di rumah, bermain dengan Dika, kakak satu-satunya yang juga laki-laki.

Hamdi, ayah Alit, melihat anak gadisnya duduk di antara teman lelakinya. Bahkan memukul dan menendang biasa gadis itu lakukan saat bercanda. Ada rasa bersalah dalam hati ayah Alit, membiarkan gadis itu tumbuh di antara lelaki, dan menjadi berbeda dari perempuan lain.

 Bersambung...
____________________
Naskah lain di Olimpus Match Battle
1. Viloise--@Chimmyolala
2. The Lucky Hunter--@Dhsers
3. Tersesat di Dunia Sihir--@Halorynsryn
4. Aku Bisa--@okaarokah6
5. Kurir On The Case --@AmiyaMiya01
6. Is It Our Fate?--@ovianra
7. Crush--@dhalsand
8. Keping Harapan--@UmaIkhFfa
9. Cinta Alam Untuk Disa--@DenMa025
10. Memutar Waktu--@dewinofitarifai

CRUSH : Be There for You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang