Pantone 18-6024

128 10 0
                                    

[Rana]

Hari ini aku ada janji dengan Tiana. Setelah beberapa hari lalu Tiana melapor kalau percobaannya dalam meniru resepku gagal total, kami mencocokkan jadwal untuk bertemu karena katanya, ia ingin belajar langsung dariku.

Padahal, kemampuan masakku juga sebenarnya hanya seujung kuku. Semoga saja hari ini berlalu tanpa masakan yang keasinan atau apapun itu.

Mahesa merengek saat hari liburku yang biasanya akan aku habiskan 2-3 jam bersama dia, jadi diambil alih oleh Tiana.

"Jangan lama-lama, ah. Balikin buruan kalau udah selesai," keluh Mahesa dari ujung sana.

Aku tertawa sambil memotong daun bawang. Tiana yang sedang mengambil teflon di rak atas mencibirkan bibirnya.

"Rewel lo. Sehari doang, Sa. Lo gak mau apa punya temen keren kayak masterchef?"

"Gak. Bodo amat," sahut Mahesa. Wajahnya terlihat cemberut di layar. Video call baru berlangsung selama dua menit sebenarnya, tapi sepertinya Tiana sudah mau matikan saja panggilan itu, karena selama dua menit hanya terisi penuh dengan rengekan Mahesa.

"Na, kamu kan katanya mau minta bantuin proofread BAB 4 skripsi kamu? Sini ke rumah sakit aja, aku lagi break."

"MAHESA ASTAGA. Sebentar doang dipinjem Rana nya." Tiana mengacung-acungkan spatula di tangannya ke layar ponsel.

Aku tertawa saja di sebelahnya.

"Tapi kan-"

"Udah ah gue tutup! Bye~ jangan nangis ya pacarnya diculik buat hari ini." Tiana langsung putuskan panggilan secara sepihak setelah lambaikan tangan ke Mahesa. "Kolokan banget, astaga."

Aku tersenyum kecil. Meringis kecil saat kulit kepalaku terasa perih. Bapak menjambak rambutku tadi sebelum aku berangkat ke rumah Tiana. Marah, karena kopinya sudah tidak panas saat ia sampai ke meja makan. Sebut aku perempuan tidak berguna dan sebagainya.

Padahal, sebenarnya salah siapa? Aku sudah panggil Bapak dua kali, sampai disebut bawel dan cerewet. Tapi tetap saja, yang kena aku juga.

"Manja banget gitu emang Mahesa kalau sama kamu?"

Pertanyaan Tiana mengalihkan perhatian dan menyudahi isi kepalaku yang sudah ancang-ancang akan berisik. Aku menoleh ke arahnya. Postur tinggi tubuh Tiana benar-benar sempurna. Tidak terlalu berisi, tidak juga terlalu kurus.

Aku mengangguk. "Iya, clingy gitu dia. Selalu minta ketemu kalau waktu libur kita emang lagi cocok."

Tiana tertawa. "Padahal sama cewek-ceweknya yang dulu gak pernah begitu, dia. Sama aku juga gak pernah."

Gerakan tanganku berhenti sejenak. "Kamu pernah pacaran sama Mahesa?"

"Pernah. Cuma sebentar. Iseng karena stress masalah kuliah ini itu, jadi kita jadian. Tapi abis itu putus. Gak ada rasa suka juga, soalnya," jawab Tiana enteng. "Jangan cemburu ya, Rana. Gak perlu cemburu sama sekali. Aku sama Mahesa beneran pacaran cuma karena iseng aja waktu itu," katanya diselingi tawa.

Untuk menghindari rasa canggung, aku balas perkataan Tiana dengan tawa tipis. "Ohh gitu, hahaha."

Sunggu tawa yang hampa.

Percakapan kami terhenti karena ponse Tiana berdering kembali. Kali ini bukan Mahesa, tapi nama "My King♡" terpampang di sana.

"Papa!! Oh my god i miss youu!"

Ah, Papanya Tiana. Satu hal lagi yang tidak kupunya namun ada di Tiana. Sosok orang tua yang cukup.

Selama Tiana berbincang dengan Papanya, pikiranku berterbangan kemana-mana.

Apa kira-kira yang dipikirkan Mahesa saat ia memintaku untuk jadi pacarnya, setelah selesai dengan Tiana?

Aku, yang tidak ada apa-apanya ini. Mahasiswa cupu. Belum selesai dengan studi, tidak punya karir. Keluarga babak belur. Kalau dinilai satu sampai sepuluh, aku ini minus tiga.

Pernahkah Mahesa membandingkanku dengan Tiana tanpa ia sengaja? Sebodoh dan setidak ada apa-apanya aku jika dibandingkan dengan Tiana? Aku tidak berani membayangkannya.

Warna hijau daun bawang terlihat berbayang di mataku.

"Na? Perih, ya? Sini aku yang lanjutin ngiris daun bawangnya. Sampe berair gitu mata kamu."

Aku menoleh ke arah Tiana. Layar ponsel di genggamannya menunjukkan sambungan telepon dengan Papanya masih berlangsung.

Takut suaraku akan terdengar bergetar, aku hanya menjawab dengan anggukan, walaupun sebenarnya bukan daun bawang penyebab perih di mataku.

Tapi, Tiana tidak perlu tahu.

Aku beri tanda dengan tangan yang menunjukkan kalau aku butuh ke kamar kecil.

"Okay, take your time. Ada di ujung lorong sebelah lemari kaca, pintu sebelah kiri, ya."

Aku mengangguk kembali.

Rasa perih di kulit kepalaku datang lagi. Aku yakin, Tiana tidak pernah merasakan rasa sakit yang seperti ini.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang