13. Exactly in Danger

45 7 10
                                    

Zafi muncul dari pintu selatan fakultas. Ia tidak sendiri, ia datang bersama Farrel. Lagi-lagi aku terhenyak, aku tidak menyiapkan diri untuk bertemu dengan cowok itu hari ini.

Ya, kuakui aku belum profesional. Sejak awal Musa dan Bayan sudah memberitahu bahwa advokat yang membantu korban adalah Farrel, seharusnya sejak saat itu aku sudah bisa menyampingkan rasa kesalku kepadanya.

"Nya—"

"Musa udah infoin semua ke gue," ucapku memotong kalimat Zafi yang tersengal. "Ini kita bertiga ke sana?"

Zafi mengangguk. Wajahnya pucat pasi dan dihiasi bulir keringat.

"Apa gak terlalu rame?" tanyaku lagi.

"Kalau lo gak mau ikut juga bodo amat gue, Nya." Zafi sedikit ketus. "Gue tau lo—"

"Memang harusnya gak perlu rame-rame kita ke sana." Farrel menyela, "Tapi, kalau Rida trauma sama cowok, kan, Anya bisa temenin Zafi jagain Rida di sana. Ini ... gue asumsiin Rida lagi sakit, ya."

Aku yakin, Zafi mengira bahwa aku tidak ingin ada di dekat Farrel sehingga bertanya demikian. Memang ada benarnya, namun sungguh, aku takut nantinya Rida malah merasa terganggu jika didatangi dua orang lain yang tak dikenalnya.

"Oke, gue ada ide. Karna situasinya urgent, lo sama Farrel duluan ke tempatnya Rida. Jangan lupa share loc ke gue. Gue bakal ke apotik dulu, sama beli makanan buat Rida. Gimana?" usulku.

Zafi mengangguk. Ia sudah gelisah, dan Farrel pun sepertinya turut prihatin kepada Zafi yang mengkhawatirkan Rida hingga sebegitunya.

"Ya udah, kita ketemu di tempat Rida, ya. Lo hati-hati, Nya," kata Farrel sebelum kami meninggalkan gedung fakultas. Mereka berbelok ke kanan, menuju tempat parkir. Sementara aku berjalan lurus ke luar kampus.

***

Setengah jam kemudian, aku tiba di indekos Rida. Farrel duduk di teras, menatap lurus ke pintu kamar Rida yang tertutup tidak rapat. Begitu menyadari kehadiranku, ia lantas berdiri.

"Gimana Rida?" tanyaku.

"Masih sama Zafi. Dari tadi nangis, belum bisa diajak ngobrol. Yang gue liat, sih, matanya sembab banget, agak item kayak kelunturan make up. Dari depan pintu aja udah kecium bau kamarnya kayak apa, kayaknya selama dua hari ini Rida ketakutan sampe gak ngapa-ngapain. Tadi juga Zafi sempet gak dibukain pintu."

Farrel menjelaskan sedemikian rinci, terbayang olehku bagaimana Rida saat ini. Aku dapat mengembuskan napas lega sekarang, setidaknya firasat burukku tidak terjadi. Rida masih hidup.

"Coba lo ketuk pintunya, Nya. Siapa tau udah agak tenang sekarang," titah Farrel. Gegas kulakukan perintahnya, dan memang Rida sudah berhenti menangis.

Zafi bicara kepada Rida, lalu mempersilakanku untuk masuk. Begitu juga dengan Farrel, kami akhirnya berkumpul menyaksikan Rida yang bersandar lemas.

"Lo beli obat demam, Nya?" tanya Zafi.

Aku mengangguk, lalu menyodorkan tas belanja yang berisi obat dan makanan. "Gue juga beli nasi ayam geprek buat kalian."

Zafi menatapku agak lama. "Thanks, Nya."

Kemudian Zafi sibuk membujuk Rida untuk makan. Untung aku membelikannya bubur, melihat kondisinya yang lemas begitu tidak mungkin Rida mampu mengunyah. "Hape lo ... kasih ke Anya dulu, ya, Rid? Dia bakal cari tau siapa pelakunya."

"Hapenya gue buang, Kak," sahut Rida lemas.

Zafi menoleh padaku, seolah memberi isyarat agar aku bersiap mengorek tempat sampah. Namun, sekonyong-konyong Farrel berkata pelan, "Biar gue yang cari di tempat sampah." Lalu, ia beranjak.

"Gue takut, Kak," ucap Rida lagi. Air matanya menetes begitu saja mengiringi ucapannya.

"Ada gue, Rid. Gue bakal temenin lo di sini. Ada Anya sama Farrel juga yang bakal bantu lo."

Farrel kembali duduk di sebelahku dengan membawa ponsel Rida yang mati. Ia menyambungkan dengan charger, dan menyalakannnya.

"Rida," panggil Farrel. Gadis itu terperanjat sambil terpejam, tangannya bergerak refleks meremas ujung kemeja Zafi. Alisnya berkedut di saat matanya tertutup, ia seperti tengah bermimpi buruk.

"Dia Farrel, temen gue. Jangan takut, Rid, dia yang bakal bantu lo," kata Zafi menenangkan.

"Rida," panggil Farrel lagi.

"Ya?" sahutnya agak serak, matanya sedikit terbuka.

"Saya izin liat hape kamu, boleh?"

"Buang aja hapenya, Kak. Gue gak mau denger notif dari orang itu lagi."

"Oke, oke," sahut Farrel dengan tenang. Di tempatnya Rida kembali terisak, ia mencengkeram tangan Zafi seraya menghapus air matanya dengan kasar. "Tapi kalau hapenya dibuang, nanti Rida gak punya hape, bakal susah dihubungi Zafi."

Rida masih terisak. Tapi setidaknya sudah mampu menatap Farrel dan aku bergantian.

"Orangnya nelepon terus, nge-chat terus. Gue capek, Kak Zafi. Udah gue block tapi ganti nomer mulu. Seminggu ini tiap malem dia ngetokin jendela, gue bisa gila, Kak! Kak Zafi temenin gue di sini, please, ya?" Rida menangis memohon kepada Zafi. Mungkin ia teramat stres hingga enggan untuk bergerak dua hari ini. "Tolong, Kak, buang aja hapenya. Katanya dia tau lokasi gue dari alamat IP, gue mau pergi aja dari sini," ucapnya lagi kepada Farrel.

"Emangnya Rida mau pergi ke mana?" tanya Farrel.

"Ke mana aja."

"Oke. Kita pergi, tapi kamu makan dulu terus minum obat, ya."

Gadis itu menurut. Ia mengambil mangkuk bubur di tangan Zafi, dan melahapnya. Cara Farrel berhasil, meskipun aku tak tahu kemana dia akan membawa Rida pergi.

"Rida bisa nginep di tempat lo sementara, Nya?" tanya Farrel tiba-tiba. "Tapi baiknya, sih, dibawa ke IGD dulu."

Aku bergumam. Keadaan Rida memang kurang baik, dan kurasa obat yang kubeli masih belum cukup. "Bisa, sih. Tapi kayaknya better di kamar Zafi aja, kasur dia agak lega."

"Oh, kalian satu kos?"

Aku mengangguk. "Di kosan gue ada kamar kosong. Bisa gak, sih, Rida pindah aja? Gue agak ngeri juga kalau tiap hari dia didatengin orang cabul."

"Ya ... keputusannya ada di Rida."

"Tolong lo tanyain dong, Rel. Biar gue langsung telepon Bayan supaya dia minta duit kosan ke kaprodi sebagai restitusi buat Rida."

"Menurut gue malam ini juga harusnya Rida pergi dari sini." Farrel menyodorkanku ponsel milik Rida. "Bukan maksud gak sopan, tapi lo liat ini."

Layar ponsel itu menyala karena ada pesan masuk. Dalam keadaan terkunci, kami dapat melihat isi pesan terbaru dari pop up notifikasi.

Wah, lo bawa rombongan ke kamar? Kok gue gak diajak?
Tapi ntar malem sendiri, kan? Udah cukup lo ngehindarin gue, sekarang waktunya lo bikin gue happy~

"Lo ngerti, kan? Maksudnya bikin happy di situ ngapain?"

"Sebentar." Aku berseru pelan, nataku tak bisa lepas dari layar ponsel Rida yang menyala. "Musa? Pengirimnya Musa?"


🌻🌻🌻

Re-calledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang