PROLOG

523 10 0
                                    

"Hey, it's me again. Me, as in someone who always here for you. Someone who always rooting for you to comeback," Jade Hamilton menghela nafasnya, memberikan jeda dari setiap perkataan menyakitkan yang selalu ia ucapkan setiap harinya. "Ah, why can't you for once run to what you know is real?"

"Kalau misalkan waktu itu kamu nggak nekat untuk pergi ke Sydney untuk menemukan teman masa kecil kamu yang hilang, kalau aja waktu itu aku susulin kamu ke Sydney setelah tau Gia udah ditemukan," nafasnya tercekat, tidak sanggup untuk mengucapkan kalimat berikutnya, "kamu nggak bakalan tinggalin Jakarta dan aku ya? Harusnya aku larang kamu nggak sih waktu itu?" Jade menarik dirinya dari ponsel yang ia genggam, takut kalau nafas sesaknya itu terdengar oleh si penerima pesan suara yang hilang ditelan bumi.

"Ian, it's been two years since you left me. Aku udah diterima di Universitas yang aku mau di Jakarta, universitas impian kamu juga dengan jurusan yang kamu cinta, bisnis," Jade menyimpulkan senyuman mirisnya, matanya sudah tidak bisa mengeluarkan air mata lagi, mungkin karena sudah terlalu sering menangis?

Jade kembali menghela nafasnya lagi, "Kapan kamu bisa balik?"

Pertanyaan bodoh, pikir Jade. Untuk mendengarkan pesan suaranya saja Ian tidak bisa, apalagi menjawab pertanyaan-pertanyaannya? Bodoh.

"Aku lagi-lagi tanyain pertanyaan bodoh ya?"

Jade memejamkan matanya, lalu membukanya kembali dan menatap lurus ke keramaian lalu lintas karena hujan sudah turun sejak lima belas menit yang lalu. "Di Jakarta lagi hujan, disana gimana?"

"Kata Kyla aku kayak orang bodoh yang nungguin hal nggak masuk akal soalnya dia nggak percaya kalau kamu bakalan balik lagi ke Jakarta untuk kita," ujar Jade dengan suaranya pelan dan beriringan dengan nada suara piano yang dimainkan oleh seseorang yang ada di cafe favoritnya itu, "salah nggak sih kalau aku percaya kamu bakalan kembali lagi ke aku?"

"Bodoh nggak kalau aku menginginkan hal yang sama sekali tidak masuk akal bagi orang lain?" lanjut Jade, matanya memejam sesaat, ketika lantunan masuk piano kembali masuk ke telinganya, secara cepat Jade langsung memutar kepalanya dengan panik mengarah pada bangku piano yang diduduki oleh seorang laki-laki. Lagu favoritnya. Lagu yang hanya diketahui oleh Ian, laki-lakinya, dulu.

Dengan mata yang penuh dengan harapan, ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke tengah keramaian yang sedang menonton pria dibalik hoodie hitam tersebut menyelesaikan permainan pianonya, "Ian?" Jade mengerutkan keningnya dengan penuh harapan. Ia sangat berharap kalau yang ada didepannya saat ini adalah satu-satunya pria yang ia cintai, yang ia rindukan, namun sepertinya takdir kembali mempermainkan dirinya.

Bukan Ian. Bukan laki-laki yang ia cintai dan harapkan. Hanya ada seorang pria asing yang memainkan permainan dari lagu favoritnya. Lagu yang membuat dirinya jatuh cinta pada Ian.

Air mata yang seharusnya tidak bisa keluar begitu saja menetes ketika ia menyadari bahwa harapannya kembali pupus, "Ternyata bukan kamu lagi ya." Jade menahan suara tangisannya, ia bertekad bahwa hanya akan air matanya saja yang akan keluar untuk hari ini. Ia tidak akan terisak. "It's okay," Jade memaksakan senyuman palsunya guna menutupi kesedihannya dan menguatkan dirinya sendiri. "Besok, besok kamu pasti datang kan ya?" ujarnya di pesan suara yang akan ia kirimkan pada Ian. Jade menghapus air matanya dengan sapuan jari miliknya, menyudahi paksa tangisannya karena ia paham betul bahwa ia bukan berada di kamarnya yang biasanya digunakan sebagai tempat pelampiasaan air matanya itu.

"Kamu tau dimana aku tinggal dan nomor telepon aku, Ian, kamu tau rumah kamu ada dimana. Disini," Jade menutup pesan suara tersebut dengan mengatakan tiga kalimat yang selalu ia sebutkan setiap kali mengirimkan pesan pada laki-laki kesayangannya itu, "I love you."

Setelah itu, Jade berjalan menuju tempat duduknya secara lambat seperti energinya sudah terkuras habis tadi. Ia tidak tau akan melakukan apa, tapi ia kembali duduk dengan tujuan untuk kembali mendengarkan permainan piano dari laki-laki asing tadi. "Kalau Ian ada disini, he would definitely throw shade on him," senyuman tipis miliknya mengembang begitu saja ketika melihat tangan si pianis yang sangat lincah menekan setiap tuts piano, mengingatkannya pada Ian yang memiliki permainan yang melebihi dari si pianis.

"Terlalu sedih nggak sih lagunya?" tanya perempuan yang secara tiba-tiba duduk di meja milik Jade dan menengak habis gelas isi americano milik Jade, "kepikiran tentang Ian lagi?"

"Iya."

"Mau sampai kapan mikirin cowok yang udah mati?"

"He is not dead, yet."

TAKE A CHANCE WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang