17. Bab 17

57 7 0
                                    

Kereta tujuan Cirebon-Jakarta siap melesat di lintasan rel lima. Witama sekali lagi membalikan tubuhnya ke arah pintu feron. Di mana Nadia, Arkan dan Jodie mengantar keberangkatan sang imam kembali ke Jakarta menuju Batam.

Kedua bocah itu menatap punggung Witama hingga menghilang ditelan gerbong kereta. Kaca pemisah pintu masuk menjadi bias karena pandangan yang memburam. Jawa - Sumatera tidaklah sejauh Asia - Afrika, tetapi mengingat pasang surut kehidupan yang harus kembali Nadia lewati hanya bersama kedua anaknya, membuat ketegarannya bergoyang merapuh.

Tidak dipungkiri bagi setiap istri, akan jauh lebih menyenangkan dan menenangkan jika berada di dekat kawamnya. Bersyukur Nadia memiliki suami dengan spek seperti Witama. Banyak wanita yang terang-terangan menaruh hati kepadanya saat masih melajang.

Sebagai lelaki yang berhati halus, Witama selalu enggan menyinggung perasaan siapapun, terlebih kepada wanita meski ia tidak menaruh hati.
Kebaikan lelaki kelahiran Surabaya itu sering kali disalah artikan oleh semua rekan kerja wanitanya. Saat berita Witama yang tiba-tiba dekat dengan Nadia dan bahkan sampai mengumumkan rencana pernikahan mereka, banyak rekan kerjanya yang tidak percaya berita itu.

Terang saja, mereka selalu menganggap betapa beruntungnya Nadia bisa bersanding dengan seorang Witama. Lelaki baik, berparas campuran yang khas antara Jawa-Bugis diramu sedikit rempah Belanda, betapa sangat mempesona.

Sedangkan Nadia hanya wanita biasa saja. Karirnya di perusahaan itu pun tidak lebih dari posisi menejer, ia juga bukan termasuk karyawan populer. Hanya teman-teman satu divisi yang mengenalnya. Wajah, menurut mereka Nadia adalah gadis yang standar saja. Banyak di antara karyawan wanita uangt lebih cantik, menarik dan memiliki posisi apik.

"Tama, kamu serius memilih Nadia sebagai calon istri, calon ibu dari anak-anakmu? memangnya tidak ada yang lebih menarik dari dia di perusahaan ini?" Salah satu karib Tama yang paling dekat sekalipun tidak menyangka dengan keputusannya.

"Yakin, sama Nadia? Gak ada pilihan lain apa?" Relan kerja Tama yang lain ikut memberikan komentar.

Namun, hati adalah hati. Selain memang sudah digariskan, pilihan hati Tama jatuh pada Nadia. Gadis yang tak populer di tempat kerja. Justru itulah yang membuat Witama jatuh hati.

Awal-awal tahun pernikahan Witama dan Nadia dipenuhi bumbu-bumbu cemburu dan kesalahpahaman, terkhusus dari Nadia. Terutama jika Nadia menemukan hal-hal yang berbau teman-teman dekat Tama sata itu.

Awalnya Nadia tidak memusingkan apa kata mereka, toh, pernikahan mereka sudah direstui kedua orang tua mereka. Meskipun prosesnya sangat membuat kepala berdenyar karena memang keduanya tidak memiliki pengalaman mengurus hal seperti itu, ditambah mereka melakukannya tidak dengan bantuan kedua keluarga.

Jadi, bisa ditebak perjuangan menghadapi kerumitan mempersiapkan semuanya. Akad dan resepsi digelar di kediaman Nadia, berlangsung secara sederhana. Saat itu Bu Rosmia tidak meminta mahar seperti yang ia minta kepada Angga waktu mempersunting Nina. Mungkin karena pesta kedua di rumah itu, jadi tidak terlalu antusias.

"Yang penting halal dan Ibu gak kepikiran lagi dengan usiamu, Nad." Bu Rosmia menghala napas lega, entah bahagia atas pernikahan anaknya atau lega karena akhirnya Nadia tudak menjadi predikat perawan tua.

Berita pernikahan Nadia yang mendadak, menggemparkan seluruh kelurahan. Hingga sebagian mengira nadia dijodohkan, sebagian lagi menerka-nerka karena hamil duluan, sisanya hanya ikut mendengarkan saja. Serba salah memang, jika tinggal diperkampungan. Nmaun, berita itu akhirnya tidak terbukti setelah mereka melewati hampir sepuluh tahun berumah tangga.

Meskipun keadaan masih belum seperti yang mereka harapkan, layaknya pasangan suami istri lain yang tinggal bersama tanpa ada jarak yang menjeda. Kata orang tua, usia pernikahan belum genap sepuluh tahun adalah masa-masa perjuangan dan mengasah penguatan diri.

Bisnis Bodong (Tamat)Where stories live. Discover now