17- Luka Fisik

156 12 4
                                    

Bahkan saat dinginnya angin malam mencoba menusuk tubuh ringkih lelaki yang berdiri di balkon itu, tak mampu membuat lelaki itu bergerak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bahkan saat dinginnya angin malam mencoba menusuk tubuh ringkih lelaki yang berdiri di balkon itu, tak mampu membuat lelaki itu bergerak. Ia semakin menikmati angin itu sesekali pandangnya mengarah ke atas, kerlap-kerlip bintang terlihat indah di matanya.

Malam ini, ia biarkan dirinya mencoba melawan angin yang menerobos tubuh ringkihnya, memperlihatkan pada semesta bahwa ia kesakitan, ia terluka di sini. Sekalipun tanpa air mata yang jatuh lagi, ia masih tetap merasakan sakit.

Anak yang memiliki keinginan sederhana untuk sekedar bisa merasakan hangatnya keluarga pun harus menahan sakit kembali. Keluarga yang ia harapkan selalu kehangatannya ternyata telah hancur.

Hancur tak bersisa, layaknya kaca pecah yang tentu tak bisa mengubah kembali dalam bentuk semula.

"Kata Papa, lo mau ikut siapa?"

Pertanyaan yang tak seharusnya ia dengar malah terdengar jelas di telinganya. Menambah sakit hatinya kembali setelah kembali disadarkan pada fakta, orang tuanya sudah berpisah.

Zeano berbalik badan menghadap Kakaknya yang berdiri dengan tangan yang ia silangkan di dada. Bersandar pada pintu kamarnya, demi menunggu jawaban pasti sang adik.

"Kalau Ze jawab, gue nggak mau ikut siapapun di antara pilihan itu, bagaimana?"

"Ya nggak tau. Ada baiknya mereka masih mau ngurusin lo, ya."

"Emang siapa yang ngurus gue saat kita masih baik-baik saja? Gue sendiri kak. Mama Papa jarang perhatiin gue."

"Siapa bilang? Lo ambil kesimpulan ini dari mana?"

Detik-detik yang terus berjalan menyakitkan membuat Zeano harus berhenti dadakan, menetralisir agar emosinya bisa terkendali baik. Berulang kali ia menarik napas lalu membuangnya berkali-kali sampai mampu membuat dirinya merasa teratur.

"Gue yang bilang barusan. Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri, presensi gue disini lebih kecil, nyaris tak terlihat dibanding lo yang gede."

"Jangan karena Mama Pisah, lo ngerasa jadi orang tersakiti banget ya. Gue juga sama sakitnya, anjir."

Seno mengepalkan tangannya di udara, seperti siap menonjok sesuatu yang ada di hadapannya. Tetapi harus berhenti ketika sang Papa berteriak, memanggil mereka berdua untuk berdiri di hadapannya.

"Kebawah. Papa panggil."

Zeano mengangguk, minat untuk berbicaranya telah hilang. Ia bisa mengontrol emosinya, tetapi yang pasti ia kehilangan selera minatnya dalam sekejap.

Zeano dan Mimpinya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang