10. Aku yang Tertarik

9.6K 1.1K 54
                                    

______

Sudah dua hari Kana bekerja di sebuah warteg di kawasan Rawa Buaya, Jakarta Barat. Wartegnya lumayan besar dan sibuk karena banyaknya pelanggan, khususnya para pekerja kantoran yang bekerja di seputar warteg. Pekerjaan Kana sangat berat untuk anak seusianya, mencuci alat-alat masak yang berat dan sangat banyak, membersihkan tiga kakus yang berukuran besar dan membersihkan dapur. Kana tidak boleh terlihat duduk-duduk barang sedetikpun. Dia harus berdiri jika pekerjaan sudah selesai.

Sebenarnya Kana tidak keberatan dengan pekerjaan tersebut. Yang membuatnya sedih dan kecewa adalah sikap pekerja lainnya yang acuh tak acuh dan tidak menghargai pekerjaannya. Dia dibentak, dikasari, dihina karena badan dan wajahnya. Duduk sebentar, Kana disebut pemalas, padahal dia sudah bekerja banyak, bahkan tidak beristirahat. Makan pagi dan makan siangpun Kana melakukannya dengan secepat mungkin. Untungnya, Kana memiliki fisik yang kuat. Dia tidak sakit, hanya pegal-pegal saat tidur malam.

Kana tidak punya pilihan pekerjaan selain di warteg ini. Dia tidak mengenal kota Jakarta, sebuah kota besar padat penduduk, dengan beragam kesibukan. Kana pun berkesimpulan bahwa Jakarta tidak menjanjikan kesempatan atau masa depan gemilang seperti yang orang-orang bilang, khususnya Uwak Ita. Ternyata lebih baik tinggal di kampung halamannya yang tenang dan tidak kacau balau dan sesempit kota Jakarta. Tapi Kana sudah tidak diterima mamanya pulang.

Kana lagi-lagi harus pasrah.

Malam ini saking pegal dan lelahnya, Kana tidak bisa terbaring. Dia duduk selonjoran sambil merenggangkan jari-jari tangannya di atas pangkuannya.

"Kenapa? Jari-jari lo kesakitan? Kecut karena kerendem aer seharian?"

Kana tersenyum kecut ditanya seorang perempuan muda yang bernama Tini. Dia termasuk baru bekerja di warteg, dua bulan lebih. Tini dan dua pekerja lainnya tinggal di dalam sebuah kamar sempit. Di kamar sempit itu Kana memilih tidur di sudut ruangan. Dia alasi lantai dengan sarung tipis dan lipatan jaket lusuhnya sebagai penyanggah kepala. Tiga pekerja lainnya sudah memiliki kasur kecil masing-masing. Kana belum memiliki uang membeli kasur, uang yang diberi Uwak Ita masih utuh tak tersentuh. Kana berencana gaji pertamanya akan dia belikan kasur saja.

"Lo kerja bagus diomelin. Wajar sih. Baru-baru gue juga digituin. Tapi lama-lama nggak," ujar Tini lagi. Dia seharian mengamati cara kerja Kana yang meskipun rapi dan cekatan, tetap saja diomelin pemilik warteg, sesekali anggota keluarga pemilik warteg juga mengomeli Kana. Ada juga pekerja lainnya yang terlihat tidak menyukai kehadiran Kana.

Tini ikutan duduk di samping Kana. Dia pegang-pegang lengan besar Kana.

"Gede banget tulang lo. Keras. Udah biasa kerja ya?"

Kana menggeleng. Sebelumnya dia hanya rajin membersihkan kamar dan membersihkan bagian dapur rumahnya selama tinggal di rumah mamanya. Dia juga membersihkan kamar Uwak Ita. Kana kuat mungkin karena setiap hari jalan kaki menuju sekolah dan pulang dari sekolah. Jarak yang lumayan jauh yang harus dia tempuh. Kana tidak pernah mengeluh. Duh, Kana jadi kangen sekolah lagi.

"Berapa sih umur lo?"

"Empat belas,"

"Busyeeeet!" Ada pegawai lain yang teriak tidak percaya dengan usia Kana.

Kana tersenyum kecut. Dia memang memiliki tubuh besar, berisi dan tinggi.

"Ngarang lo ah. Kayak emak-emak juga badan lo," sinisnya.

Kana diam saja dan tidak mau membela diri atau membuktikannya dengan akta lahir dan ijazah sekolahnya. Percuma membalas kata-kata orang-orang yang sudah terlanjur memandang sinis, akan terus dicari-cari kekurangannya. Kana sudah hafal cara menghadapi orang-orang seperti itu, didiamkan saja dan tidak usah berurusan.

KANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang