Chapter 2 - Anomaly

7 0 0
                                    

Sambil menunggu Neg dan Kenneth selesai berdiskusi, Nikko kembali jelalatan. Mengingat ia memiliki iris hitam, hampir tidak mungkin untuk melihat pupilnya yang terus berkontraksi. Ruang Kepala Sekolah berukuran dua atau tiga kali lipat kamar asramanya. Mungkin karena kekuatan lensa mata yang lemah meski sudah dibantu oleh lensa kontak, Nikko memutuskan berdiri dan mulai menghampiri satu objek ke objek lain seperti seekor monyet liar hiperaktif—tentu saja dengan penuh kehati-hatian supaya tak ada satu pun barang yang jatuh dan pecah.

Di sisi dinding lain, rak buku lain mengapit lemari pendingin. Nikko tidak berani membukanya. Selain karena tidak sopan, apa lagi yang ada di sana selain air mineral atau minuman sari buah lemon, serta makanan ringan yang terbuat dari bahan yang sama. Neg sangat fanatik pada makanan manis dan mengandung esens lemon.

Bertolak belakang dengan Nikko, lidah dan giginya tidak bisa menoleransi satu kubus kecil gula batu yang dicelupkan ke dalam teh. Ia lebih memilih minum teh tawar daripada harus menambahkan seujung sendok gula—dalam bentuk apa pun—ke dalam minumannya.

Lemari pemancing maling kembali mengusik ketenangan lelaki berkaki panjang dan bertubuh ramping yang selalu terlihat salah di mata Kenneth ini. Beberapa kali ia harus menahan tangan gemetarnya yang terulur untuk memindahkan sebongkah permata merah pipih kecil besudut enam ke dalam saku jas sekolahnya.

"Menjauh dari sana, anak berandal!" Suara tajam Kenneth langsung menusuk gendang telinga Nikko. Andai jantung Nikko hanya diikat sehelai benang jahit, penopang hidupnya itu pasti sudah putus dan berdenyut di rongga perutnya.

"Kalau haus, ambil sendiri di kulkas." Kali ini suara Neg yang selembut permen kapas, menumpulkan efek syok yang diberikan Kenneth.

Nikko berpaling ke arah lemari pendingin. " Ba—baik. Apakah perlu kubuatkan teh untuk kalian?"

"Ide bagus. Tambahkan tiga kubus gula batu dan setengah perasan lemon untukku. Lalu ... untuk Kenneth kita, cukup teh lemon dingin, semakin dingin semakin baik."

Kenneth hanya menjeling pada Neg tanpa bersuara, seolah mengiyakan. Ia memang tidak suka minuman hangat maupun panas karena rawan tersedak. Bila cairan memberi efek seperti itu, maka efek dari makanan seperti akan menyumpal tenggorokan hingga mati kehabisan napas. Menurut pengakuan Kenneth, tenggorokannya akan langsung berkontrakasi untuk mencegah sesuatu yang hangat atau panas melewatinya.

Neg sampai pada kesimpulan bahwa tubuh Kenneth masih mengingat sensasi tercekik asap hasil pembakaran—apalagi hasil pembakaran yang berasal dari tubuhnya sendiri, tentu ia mengalami trauma tanpa ia sadari.

Kondisi Kenneth tidak jauh berbeda dengan Neg. Ia akan mengalami gatal-gatal seperti terkena ulat bulu bila sesuatu yang berminyak menyentuh kulitnya. Gatal saja tidak menjadi masalah karena masih bisa ditahan. Namun, lain cerita jika terjadi komplikasi gatal, panas, dan perih akibat munculnya ruam-ruam yang bertebaran pada permukaan kulit seperti terciprat minyak panas.

Neg memiliki istilah untuk kondisi mereka, yaitu Sindrom Maethyr. Suatu kondisi yang hanya dialami oleh seseorang yang mengalami luka berat dan mengancam nyawa. Pencetus dari trauma tersebut akan menimbulkan reaksi beragam terhadap mereka.

Lima menit kemudian, Nikko datang sambil mendorong troli kecil. Ia menyodorkan dua cangkir teh pada dua mentornya, disusul dengan dua piring kecil berisi potongan kue tart lemon. Mata Neg berbinar sewaktu mengucapkan terima kasih, sementara Kenneth hanya mengucapkan terima kasih, tapi tidak mau beradu mata dengan Nikko.

"Brilian! Kau boleh ambil juga untukmu sendiri," ujar Neg dengan wajah sumrigah sambil memasukkan hiasan berbentuk lemon yang terbuat dari cokelat putih ke dalam mulut.

Relics & Legacies [ARC I: Erasmus]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora