#41. 16 Hari

246 22 0
                                    

Dengan cup berisi jus jeruk di tangan, Nevan duduk di kursi taman rumah sakit. Seragam SMA Purnama Biru terpasang di tubuhnya. Satu tangannya masih dipasangi gips karena memang patah tulang tidak bisa sembuh sesingkat itu.

Lelaki tinggi berparas tampan itu memperhatikan langit jingga yang menaunginya, menghela napas, kemudian bergumam, "Lemah."

Beberapa saat dia diam di taman itu, hingga akhirnya Nevan memilih bangun. Membuang cup kosong ke dalam tempat sampah, dia memilih untuk memasuki rumah sakit. Kakinya bergerak ke arah lift, memasukinya, lalu menekan tombol angka 4.

Beberapa saat berlalu, pintu lift terbuka dan itu membuat kaki Nevan bergerak ke depan. Melangkah keluar dan menyusuri lorong lantai 4. Pria itu sesekali tersenyum kala beberapa perawat ataupun sekedar pengunjung rumah sakit terlebih dahulu melemparinya senyuman.

Sampai di depan pintu ruang VIP yang ingin ia kunjungi, Nevan menggeser pintu itu. Masuk ke dalam hingga seseorang yang terbaring di atas ranjang dengan berbagai alat penunjang kehidupan memasuki pandangan. Langkah Nevan bergerak mendekat ke arah ranjang itu, duduk di kursi yang tersedia di samping ranjang.

"Ry..." Sapanya memandang wajah pucat Amory.

Berkat bantuan Kenzura, Amory yang tengah koma, satu minggu lalu dipindahkan dari ruang perawatan intensif biasa menuju ruangan VIP dengan fasilitas dan pelayanan lebih sempurna. Orang itu bahkan menawarkan jasa bodyguard plus perawat pribadi untuk Amory. Namun, karena merasa tidak enak, Nevan memilih menolaknya. Lagipula sudah ada banyak penjaga di samping ruangan Amory. Tepat di depan pintu ruangan Cakra yang sama-sama belum sadarkan diri padahal 16 hari telah berlalu sejak kecelakaan itu.

"Semuanya hancur," ungkap Nevan. Lelaki itu menggeser kursi yang didudukinya agar lebih dekat dengan Amory. "Ian udah berhari-hari ngurung diri, lo sama Cakra terlalu betah tidur, Adhisty jadi buronan, dan kita hampir ditangkap karena ketahuan berhubungan sama Adhisty," lanjutnya.

Menghela napas lelah, tangan Nevan terulur guna memperbaiki rambut Amory. "Cepat bangun, Ry, jangan buat gue nekat bunuh kepala sekolah karena udah buat lo kayak gini," ungkapnya.

"Ry, tadi ada ulangan Bindo. Gue nggak bisa belajar karena kalian. Nilai gue pasti jadi paling jelek di kelas. Agak nggak keren, sih, soalnya gue anak pasangan elit."

Meski tidak ada respon apa-apa, Nevan terus saja berbicara, menceritakan kesehariannya di sekolah hingga cerita tentang perjalannya ke rumah sakit ini. Terus begitu hingga dering telepon menghentikannya.

Merogoh saku celana, Nevan menemukan Kenzura yang menelepon. Tidak mau membuat saudara Cakra itu menunggu, Nevan segera mengangkat panggilan itu, menempelkan benda persegi di telinganya lalu menyapa, "Halo, Mas Zura."

Tak perlu menunggu lama, suara semangat Kenzura terdengar di telinga Nevan, memberitahukan kabar baik yang membuat lelaki itu spontan berdiri.

"Kamu di mana, Van? Cakra udah bangun." Begitulah kalimat yang Kenzura ucapkan. Kabar baik yang sudah Nevan tunggu-tunggu.

"Aku di ruangan Amory, Mas. Aku ke sebelah sekarang."

Mematikan sambungan, Nevan menatap Amory sebelum berkata, "Cakra bangun, Ry, tinggal lo yang belum. Ayo bangun dan makan es krim sama-sama lagi."

Sebelum pergi, Nevan menyempatkan diri membenarkan selimut Amory. Entahlah, meski selimut itu sama sekali tak bergerak, tapi tetap saja Nevan ingin melakukannya. "Gue ke sebelah dulu, ya, Ry," ucapnya melemparkan senyum.

•••

Tok... tok... tok...

Ketukan pintu terdengar entah untuk keberapa kalinya di hari ini. Lelaki yang tengah terbaring dengan selimut yang menutupi tubuhnya hingga leher itu sama sekali tidak ingin peduli dengan ketukan itu.

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang