empat ; tentang pahlawan dan pengakuan tak terduga

153 26 2
                                    


Kalyana duduk di teras seraya membolak balik halaman demi halaman buku tebal berbahasa Perancis yang ia beli dari pasar loak, dua minggu lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalyana duduk di teras seraya membolak balik halaman demi halaman buku tebal berbahasa Perancis yang ia beli dari pasar loak, dua minggu lalu. Bukan tanpa alasan dia membaca buku berbahasa asing, melainkan karena dirinya memang memiliki hobi semacam itu sejak masih di bangku sekolah.

Hardan yang dengan setia duduk disampingnya sembari mengupas buah apel-pun dibuat tertegun dengan kemahiran Kalyana dalam berbicara menggunakan beberapa bahasa asing. Diam-diam dirinya berharap, jika anak mereka telah lahir nantinya, ia akan mewarisi kepandaian bundanya. Pun jika memang anak mereka perempuan, semoga ia terlahir jelita seperti bundanya juga.

Selesai memotong apel menjadi beberapa bagian kecil, Hardan sengaja meletakkannya di sebuah wadah mangkuk kemudian menyodorkannya pada Kalya. Mengingat akhir-akhir ini wanita itu suka mengkonsumsi buah apel, Hardan menjadi sangat yakin jika nanti anaknya adalah seorang perempuan.

"Har, kalau nanti dedek lahir perempuan aku mau kasih nama dia 'Reine', bagus nggak?" tanya Kalya seraya berpindah atensi dari buku, menjadi pada buah apel dalam mangkuk kemudian menatap Hardan dengan kedua mata polosnya.

"Bagus, tapi nanti di belakang namanya harus ada nama 'Adimasatya' nya, ya?" Hardan menimpali dengan santai, namun sesaat setelahnya ia justru mendengar Kalya berdecak.

"Kenapa? Nggak mau?"

Kalya menggeleng kecil, "Tapi sebelum aku jawab, boleh aku nanya serius nggak sama kamu?"

Alih-alih marah karena Kalya merubah topik, Hardan memilih urung untuk berteriak kesal. Ia memilih menganggukkan kepala sebagai tanggapan sebelum meraih menghentikan gerak tangannya-yang tadinya sibuk mengupas buah apel.

"Kenapa kamu akhirnya mau tanggung jawab?" Kalya bertanya dengan ragu, sedikit menggigit bibir kala menyadari perubahan raut wajah lelaki dihadapannya.

Hardan menghembuskan napasnya sedikit kasar, "Kamu nggak suka?"

"Bukan gitu, Har," Kalya berdecak lagi, semakin takut mengutarakan rasa yang mengganjal dalam lubuk hati paling dalam. Tentang keganjalan yang selalu menumbuhkan tanya dan berakhir dengan melontarnya tanpa pikir.

"Terus?" Hardan masih mencoba untuk mengendalikan emosi seraya berharap semoga mereka tidak ribut lagi.

"Terkadang aku masih kaget kamu mau tanggung jawab. Sebelum ini aku sempat mikir kalau aku bakalan membesarkan anak aku seorang diri,"

"Ralat, bukan anak kamu doang, anak aku juga!" sahut Hardan dengan nada suara terdengar jengkel.

Kalya kembali menatap pada potongan apel di dalam mangkuk. Tak ingin warna buah itu memucat karena terlalu lama dianggurkan, ia pun mulai melahapnya satu per satu. Sekaligus sebagai bentuk bahwa dia menghargai Hardan yang telah mengupaskan buah tersebut untuknya.

RUMORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang