Pantone 14-1118 TCX

106 8 3
                                    

[Rana]

Pulang ke rumah tidak pernah semenakutkan ini. Menggandeng tangan Mario untuk membuka pintu kayu dengan kunci di tangan tak pernah segundah ini.

Selama ini, kupikir Bapak tidak akan bertindak sejauh itu untuk melukai orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan hancurnya keluarga ini. Ku kira, aku sudah cukup paranoid untuk menjauhkan Mahesa dari Bapak. Tapi ternyata, sepertinya dunia ini memaksaku untuk mau tidak mau lebih paranoid dari apa yang sudah kurasakan selama ini. Kejadian kemarin mendorongku untuk lebih takut, dan lebih ragu.

Akan segalanya.

"Kak? Kuncinya rusak, ya?"

Mario bertanya dengan mata bulatnya yang menatapku heran. Baru saat itu aku tersadar kalau kunci pintu masih bersarang di lubangnya karena tanganku yang gemetar.

Senyum tipis kuberikan untuk Mario, sambil dalam hati bersusah payah untuk menenangkan diri.

"Hmm, gak tau nih. Seㅡekhm, sebentar ya." Aku hembuskan nafas kasar, sembari memusatkan fokusku agar tangan berhenti bergetar dan kunci sukses diputar.

"Yeay! Gak rusak ternyata, Kak," ujar Mario riang, dengan senyum seindah mentari petang. Bawa tenang ke diriku yang sedang penuh kemelut gusar.

Mario adalah segalanya. Lebih berarti dari pada dunia dan seisinya.

Aku usap rambut lembut Adikku. "Yuk, masuk."

"Neng?"

Langkahku dan Mario untuk masuk ke rumah tertahan saat Pak Agam, ketua RT di lingkungan kami memanggilku. Beliau berdiri di depan pintu pagar, menatap ke arahku.

"Kamu masuk duluan aja, ya? Bersih-bersih, ganti baju, siapin buku untuk besok sekolah. Nanti Kakak nyusul, kita makan sama-sama," kataku pada Mario.

"Kakak gak mau aku temenin?"

"Gak usah, gak apa-apa. Mario masuk aja, ya?"

Mario mengangguk ragu-ragu, namun kemudian langsung menuruti semua perkataanku. Pintu kayu tidak aku tutup rapat, jaga-jaga jika Mario butuh aku di dalam.

"Iya, Pak. Ada apa?" tanyaku setelah menghampiri Pak Agam. "Mari masuk, Pak."

"Gak usah, Neng. Saya disini aja. Cuma sebentar," kata Pak Agam. "Saya cuma mau tanya tentang kejadian kemarin. Di dekat taman."

Kejadian saat Bapak menghajar Mahesa.

"Tanya apa, Pak?"

"Kemarin saat saya ajak Bapaknya Neng Rana bicara, kata beliau laki-laki kemarin dipukul karena mencoba melecehkan Neng Rana. Betul seperti itu?"

Aku tidak pernah setekejut ini dalam hidupku. Kebohongan dengan tingkatan tergila yang pernah ku dengar.

"Enggak, Pak. Sama sekali gak ada kejadian seperti itu."

Pak Agam menatapku seakan beliau tahu sesuatu.

"Saya juga ragu, karena saat saya datang di TKP, Neng Rana tidak kelihatan takut dengan masnya. Lalu, Neng, jujur bukan sekali dua kali saya dengar aduan dari tetangga kalau sering ada suara barang pecah dan teriakan terdengar dari rumah Neng Rana. Tapi saya tidak berani tanya, takutnya itu hal privasi. Saya hanya mengamati dari jauh sebisa saya. Tapi kejadian kemarin buat saya jadi terpaksa menanyakan ini ke Neng Rana."

Aku diam. Pak Agam sepertinya belum selesai berbicara.

"Apa ada masalah yang bisa saya bantu? Kalau Neng Rana dikasari, atau apa, saya bisa bantu lapor ke pihak berwenang agarㅡ"

"Gak ada, Pak. Cuma pertengkaran antara orang tua dan anak, seperti biasa," jawabku memotong ucapan Pak Agam.

Membiarkan beliau mengurus kelakuan Bapak ke ranah hukum sama saja menelan granat hidup-hidup. Entah hal nekat apa yang dapat Bapak lakukan terhadapku jika ia tahu kalau Pak Agam menawarkan hal semacam itu.

Bukan tidak mungkin Bapak akan membawa Mario pergi jauh dalam pelariannya. Membayangkannya saja sudah terlalu menakutkan, lebih dari yang aku kira.

Pak Agam terdiam beberapa saat, seperti mencari-cari kebenaran dalam raut wajahku.

"Kalau saya butuh bantuan, saya akan lapor, Pak. Terima kasih banyak untuk tawarannya."

"Ya sudah kalau begitu. Jangan sungkan untuk bilang ke saya kalau ada yang perlu dibantu ya, Neng," ucap Pak Agam. Beliau kemudian menyodorkan amplop cokelat muda di tangannya. "Sama ini, ada titipan surat untuk Neng Rana."

"Dari siapa, Pak?" tanyaku, sambil memperhatikan amplop yang kini berada di tanganku.

"Pesan dari orang yang menitipkan, agar Neng Rana baca langsung isinya. Saya tidak mau menyalahi amanat, tapi insya Allah isinya baik, Neng."

Ponsel Pak Agam berbunyi sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi. Beliau pamit dengan tergesa, meninggalkanku dengan amplop surat yang pengirimnya...entah siapa.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang