Bab 4

1.1K 38 0
                                    

Arhan saat ini sedang sarapan pagi sendirian di meja makan sementara Elina sedang memberi makan putri dan putra mereka di tempat yang tidak jauh dari meja makan tersebut.

Adit mendadak menghampiri Arhan yang sedang menikmati makanannya sendiri tanpa menoleh ke anak dan istrinya. Elina juga tak lagi membahas masalah kemarin karena dia tidak ingin anak-anaknya melihat pertengkarannya dengan sang suami.

"Pa, nanti papa boleh kan sekalian antar aku ke sekolah? Mama kasihan pa. Mama kan sibuk urus rumah, adik dan toko. Mama pasti capek," ucap Adit.

"Gak bisa. Papa buru-buru," ucap Arhan dengan ketus.

"Tapi kan papa kerjanya bebas, pa. Gak ada terlambat. Masa papa gak bisa anterin aku. Kan searah juga, pa," ucap Adit.

Brak!

Arhan menggebrak meja makan.
"Kalau papa bilang gak bisa ya gak bisa! Bandel banget sih! Kamu biasanya juga naik sepeda. Udah sana naik sepeda aja!" bentak Arhan.

Adit benar-benar terkejut dibentak seperti itu oleh Arhan. Wajah Adit terlihat ketakutan. Ia lalu menghampiri ibunya. Elina segera memeluk Adit dan menenangkannya.

"Gak apa-apa ya sayang. Mungkin papa sedang capek. Adit pergi naik sepeda aja ya nak," ucap Elina.

Adit pun mengangguk.
"I-iya ma. Adit pergi ya ma," ucap Adit dengan ketakutan lalu menyalim tangan Elina.

Setelah menyalim tangan Elina, Adit bersiap untuk pergi dan tidak menyalim tangan Arhan.

"Adit, papa juga disalim sayang. Gak boleh seperti itu," ucap Elina.

Namun Adit menggeleng lemah dan masih takut.

"Dasar anak gak punya sopan santun! Kamu itu bagaimana sih mendidik anak? Gak becus sama sekali!" seru Arhan.

Adit menutup telinganya dengan kedua tangannya. Ia lalu berlari ke luar rumah dan segera pergi ke sekolah karena tak ingin mendengar amarah papanya lagi.

Sementara Adit pergi, Arin justru menangis karena suara Arhan yang begitu keras saat berbicara.

Elina lalu segera membawa Arin ke kamar. Setelah itu ia menghampiri Arhan.

"Kalau kamu marah sama aku, cukup sama aku aja! Jangan libatkan Adit dan Arin ke dalam masalah kita! Mereka itu masih kecil! Mereka gak tahu apa-apa!" ucap Elina dengan lantang.

"Oh sudah mulai berani kamu ya membentak aku. Sudah merasa hebat?" tanya Arhan.

"Jaga bicara kamu ya! Aku seperti ini juga karena kamu yang memulainya! Kamu kenapa sih mas? Kenapa kamu berubah? Apa karena sudah ada wanita lain di hidup kamu makanya kamu seperti ini sama aku? Iya?!" balas Elina.

"Tutup mulut kamu! Aku ini pria terhormat! Aku tidak mungkin berselingkuh!" seru Arhan.

"Lalu jika memang kamu tidak selingkuh, kenapa kamu bersikap seperti ini? Kamu berubah mas! Kami tidak mengenal mas Arhan yang dulu," ucap Elina.

"Aku capek ya kamu tuduh seperti ini. Kalau aku mau selingkuh, mungkin dari dulu saat aku masih bekerja di pabrik aku sudah selingkuh dengan anak bos yang suka sama aku. Kamu ingat kan dengan Cici? Dia suka sama aku tapi aku tetap setiap sama kamu. Lalu apa mungkin jika sekarang aku selingkuh?" tanya Arhan.

Deg!

Elina langsung terdiam.

"Argh udahlah. Aku capek. Aku mau kerja aja. Capek aku terus-terusan dicurigai sama kamu," ucap Arhan.

Arhan lalu pergi begitu saja tanpa mempedulikan Elina. Elina masih mematung di tempat mencerna ucapan Arhan tadi.

'Tapi memang dulu anak bos di pabrik tempat kerjanya mas Arhan pernah suka sama mas Arhan makanya mas Arhan resign dari pabrik karena dia mau menjaga perasaan aku. Tapi kalau memang mas Arhan gak selingkuh, lalu apa yang membuat dia berubah seperti ini?' ucap Elina bertanya-tanya di dalam hatinya.

Serpihan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang