28. Maaf

847 59 1
                                    

Ada yang aneh di ranjang rumah sakit ini. Mata gue sedikit silau karena cahaya yang menyelimuti ruangan ini. Hal yang bikin gue merinding adalah ... ada orang yang tidur di ranjang gue juga selain gue.

Perlahan gue membalikkan badan. Takut tapi rasa penasaran gue lebih dominan.

Tubuh gue tersentak sampai-sampai orang yang di samping gue ikut kaget. Dia bukan setan di tengah bolong.

"Mas," pekik gue.

Gue segera menyadarkan diri dari mimpi ini. Berkali-kali gue mencoba mengerjapkan mata dan berkali-kali pula orang yang begitu terasa nyata masih tetap berbaring. Bahkan ia sampai menumpukan satu tangannya untuk menyanggah kepalanya.

"Selamat pagi."

Ternyata ini bukan mimpi. Pak Johnny mencium kening gue dan mata sembab gue.

"Kok di sini?" kata gue tersipu akibat tatapan setengah kantuknya berpusat pada gue.

"Memang tidak boleh? Kamu saja tidur di sini."

"Apaan sih." Gue memalingkan pandangan.

"Saya serius, Mas."

Pak Johnny memeluk gue. Wajah gue ditenggelamkan di dadanya. Ada kerinduan yang amat dalam di hati gue.

"Masih sakit?"

Gue menggeleng. "Lebih sakit pas dicuekin, Mas."

Sekarang wajah kami saling berhadapan. "Maaf."

"Saya juga minta maaf sudah mengecewakan, Mas."

Kecupan lama di pelipis gue terasa hangat. Mungkin ini bentuk damai kedua setelah kami tak saling perhatian satu sama lain.

"Tidur bentar ya. Saya masih ngantuk."

Kini Pak Johnny mendekap di dada gue. Dia terlihat sangat letih sekali. Perjalanan jauh yang sangat menyita waktu, belum lagi di sana dia harus mendampingi mahasiswa KKN yang baru beberapa hari di sana. Pasti dia sangat buru-buru dan meninggalkan pekerjaannya di sana.

"Kenapa enggak diselesaikan dulu kerjaannya?"

Dia tak merespon gue. Namun, gue rasa dia belum sepenuhnya tertidur.

"Oh iya. Siapa yang kasih tahu soal ini?"

"Ayah. Sayang, saya ngantuk. Wawancaranya nanti dulu ya."

Gue menyurai rambutnya dan memeluk tubuh besarnya yang seperti bayi titan.

"Kalau saya enggak di rumah sakit. Kamu belum tentu cepat-cepat ke sini kan, mas?" Kalimat itu hanya bisa tertahan di dalam hati.

Gue larut dalam dekapan. Tidur lima menit lagi bukan waktu yang salah.

Dengkuran halus dari Pak Johnny dan napasnya yang teratur menandakan ia sangat letih dalam perjalanannya.

Ternyata orangtua gue berbohong untuk tak memberitahunya. Niat gue kan cuma enggak mau mengganggu pekerjaan Pak Johnny, tetapi gue kecolongan begini.

"Avin, ada dok ..."

Gue yang cuma setengah sadar langsung beranjak duduk mendengar suara bunda membuka pintu.

"Maaf. Ada dokter di luar."

Aduh kenapa gue masih malu saja sih pelukan di depan bunda.

Tersadar gue bergerak, Pak Johnny ikut menyadarkan diri. Dia menjatuhkan kakinya ke lantai dan nyawanya langsung terkumpul.

"Bunda. Maaf saya ketiduran." Pak Johnny sih tak ada malunya. Respon dia biasa saja ketika kami ketahuan berpelukan.


******


Our MerriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang