Prolog

89 28 97
                                    

2005
Medical Centre of Busan

"Eomma, ireona. Kau sudah berjanji mengajakku melihat pelangi, kumohon jangan diam saja."

Tangis memilukan yang mampu membuat hati setiap orang tersayat, cucuran air mata yang mengalun halus membasahi pipi gembul berwarna putih kemerah-merahan. Perawat yang berusaha menenangkan sudah tak paham harus melakukan apa, gadis ini histeris setelah melihat seorang yang paling dekat dengannya tak lagi mengajaknya berbicara. Sosok yang setiap hari membawanya memetik bunga dan melihat pelangi, kini menutup mata dengan rapat. Sosok yang selalu menjadi pahlawan baginya, sekarang pergi tanpa mengamit lengannya atau sekedar berpamitan sebagaimana mestinya.

"Cantik, kita ke kamar, ya."

"Tidak. Aku ingin dengan Mama, aku tidak mau meninggalkannya."

"Mama sudah tenang, Sayang. Kita istirahat, kamu belum makan dari pagi."

Perawat yang bertugas itu terus membujuk gadis kecil yang semakin meraung, ikut terenyuh menyaksikan betapa sedihnya kehilangan sosok yang dicintai.

"Permisi. Boleh saya yang bicara dengannya."

Sebuah suara menginterupsi gerakannya, perawat itu menoleh dan mengangguk seolah tak tahu harus berbuat apa.

"Silahkan."

Wanita paruh baya datang mendekat, mencoba berbicara dengan gadis kecil yang masih menatap brankar orang terkasih. Menyentuh rambut lurus legam, menerbitkan senyum untuk sebuah hati yang baru saja retak.

"Yoori-ya ... Min Yoori."

Gadis kecil yang masih berurai air mata itu mengalihkan atensinya, netranya bertumbuk dengan sepasang obsidian milik sosok yang juga ia sayangi.

"Halmeoni."

[ ... £££ ... ]

2005, Busan

"Appa, aku lelah."

"Eoh? Kalau begitu, kita istirahat dulu."

Lelaki mungil itu mengangguk, matanya berbinar indah menatap rerumputan yang ditepuk ayahnya. Mereka baru saja menghabiskan waktu sore dengan berlari kecil mengelilingi jalan yang asri, ayah dan anak ini sangat suka meregangkan otot setiap pagi dan sore. Setelah itu keduanya akan membeli makan malam untuk disajikan bersama ibu dan adik kesayangan yang usianya tak berbeda jauh dari lelaki kecil ini, keluarga hangat mereka adalah impian beberapa orang.

"Appa, kita beli itu!" Tunjuknya pada sebuah toko yang memiliki counter berwarna-warni.

"Kajja! Kau pasti menyukainya."

Suara tangis samar terdengar saat lelaki kecil itu berhasil membawa dua tangkai gula kapas berwarna ungu, ia menemukan seorang gadis yang tengah menekuk lutut sembari menyembunyikan wajah. Rintihan kecil terdengar semakin jelas saat lelaki itu masuk ke lorong, sebuah jalan sempit tempat di mana gadis itu menunduk.

"Gwaenchanayo?" tanya lelaki kecil itu.

Gadis kecil yang tadi ia dengar menangis perlahan mengangkat wajahnya, tak ada bekas air mata atau tanda-tanda bahwa ia usai bersedih. Senyuman lebar dan ringisan menakutkan mulai menjadi perasaan was-was bagi lelaki kecil itu, ia pun hendak mundur saat merasakan sesuatu menahan punggungnya.

"Kau mau kemana?"

Dapat dilihatnya tiga lelaki kecil yang lebih tinggi darinya tengah menahan langkah yang hendak kabur, gadis kecil tadi merampas dua tangkai gula kapas yang ia pegang dalam sekali tarik.

"Jangan."

Gadis kecil itu menatap lelaki di hadapannya, ia memiringkan kepala seolah sosok di depan jauh lebih kecil darinya.

"Wae?"

"Jangan diambil, itu punya adikku."

Gadis kecil dan ketiga temannya tertawa, mereka pun menghabiskan satu tangkai gula kapas dalam sekali santap. Sang gadis mulai tertarik saat melihat bahu lelaki di depannya bergetar, ia belum pernah merasa kasihan seperti ini pada beberapa korban lain.

"Ya! Kau menangis?"

Lelaki kecil itu tidak menjawab, ia hanya menunduk dengan bahu terguncang yang kian kentara.

"Jimin-ah, kau di mana?"

Suara seorang pria spontan membuat ketiga anak itu berlari, mereka tidak ingin ketahuan sedang berbuat nakal dengan lelaki kecil yang tidak mereka kenal. Sedang sang gadis masih di sana sembari mengulurkan satu tangkai gula kapas yang utuh, hal itu membuat anak di depannya mendongak.

"Jangan menangis," ujar gadis kecil, "adikmu akan tertawa jika tahu kakaknya lemah."

"Yoori-ya, dallyeo."

Gadis itu tersenyum, lalu menyusul ketiga temannya yang sudah lebih dulu menghilang di balik gang. Lelaki kecil ini masih menatap lurus, seolah baru saja melihat sesuatu yang luar biasa dalam hidupnya.

"Jimin-ah, kenapa kau di sini?"

"Appa."

"Ne?"

"Apa bidadari itu ada?"

"Mwo?"

"Ah, tidak ... bisakah kau membelikanku satu lagi, tadi tidak sengaja dicuri kucing itu."

Sang ayah menatap seekor kucing yang tengah mengendus remahan di tanah, ia lalu membawa putranya ke tempat penjual gula kapas dan mengambilkan satu tangkai lagi. Lelaki kecil bernama Jimin itu kembali menatap kearah gang saat ia melewatinya, menggumam dengan yakin seolah itu adalah sebuah mantra.

"Suatu saat kita akan bertemu lagi, Yoori-ssi."

💜🔰💜

Hope you guys enjoy this story

Jangan lupa tinggalkan jejak 👣

Magical LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang