20. Taraka

105 27 2
                                    

Hidup mengabdi pada Wisesa hanya memperparah tekanan batin Niskala. Apalagi ia kini menjadi kanjeng ratu yang namanya telah tercemar. Takhta diserahkan pada Wisesa setelah dirinya dan Niskala melangsungkan pernikahan. Kanjeng Dayinta memasrahkan keraton untuk dipimpin bersama Kaniraras Niskala Acalapati. Dan beliau tinggal istirahat di masa tuanya.

Wisesa hanya mengingatkannya pada sosok Tarangga karena mereka sama-sama dalang yang piawai dan sempat menapak di keraton. Kumis Wisesa tumbuh tipis di filtrum-nya, persis dengan Tarangga.

Kebebasan Niskala benar-benar direnggut oleh kenyataan. Hobi menulisnya terpaksa dihempaskan jauh-jauh agar ia fokus pada kepemimpinan dan pengabdian. Ya, dia sebenarnya menyenangi kegiatan menulis yang diadaptasi dari kenyataan hidupnya yang dibumbui imajinasi. Kegiatan itu dilakukan secara sembunyi di sela-sela waktu luang. Kisah yang ditulisnya belum ada yang rampung. Ia masih kebingungan menentukan ending masing-masing cerita yang dibangun. Kini, ia rasa takkan ada ending yang perlu ditulis karena tak ada waktu untuk mengembangkannya. Tulisan itu teronggok pada tumpukan kertas yang makin menguning menjadi hanca—pekerjaan yang tertunda.

Bebannya bertambah ketika si jabang bayi telah melihat luasnya loka. Wajahnya mirip sekali dengan ayah kandungnya, membuat sang ibu tambah merana. Niskala tentu saja menyayangi putra yang telah mendekam di perutnya dan kerap menendang. Namun, dadanya sering sesak tiap menimang anak itu karena nyatanya ia tidak bisa menimang bersama Tarangga. Karena cintanya masih begitu meluap-luap kepada Tarangga, maka putranya itu diberi nama Raden Mas Taraka Prasajakencana. Raden Mas adalah nama turun-temurun, Taraka adalah singkatan Tarangga-Niskala, dan Prasajakencana berarti emas yang sederhana.

"Ngger, Romo pergi dulu, mau ndalang. Besok kamu yang menggantikan, ya." Wisesa mencium kening Taraka dengan lembut. Lagi-lagi, hati Niskala mencelus melihatnya.

Wisesa begitu baik hingga menerima Taraka yang dibilang "anak haram" oleh para abdi secara sembunyi-sembunyi. Niskala tidak tahu suaminya itu tulus atau tidak, yang penting ia memberi kasih dan sayang pada keluarganya.

"Semoga lancar, Romo. Besok aku harus diajari." Niskala menirukan suara anak kecil sebagai balasan untuk suami yang tak dicintainya.

Sebenarnya hati Niskala menyesali orang tua yang menghalangi cintanya dengan Tarangga ketika sedang mekar-mekarnya dahulu. Ketika belum menimbulkan perkara besar.

Wisesa Memang memenuhi kebutuhannya, walau sebenarnya kehidupan kanjeng ratu selalu tercukupi. Kemampuan mendalang Wisesa semakin meningkat seiring waktu berjalan dan seiring ia menjadi prabu. Auranya mampu memikat hati perempuan mana saja yang berada di dekatnya untuk mengagumi secara diam, dan itu tidak membuat Niskala cemburu sama sekali.

Niskala diam-diam menanti suaminya membawa perempuan lain untuk dijadikan selir, layaknya raja kebanyakan termasuk suwargi⁶¹ Romo. Namun, Wisesa menunjukkan kesetiaannya pada sang istri. Ia tidak pernah tergoda oleh sinden atau penari yang meliriknya. Ia telah belajar dari kesalahan Tarangga yang keluar dari sifat sejati dalang.

Walau sikap tak acuh Niskala kadang kala membuat Wisesa bosan karena hidupnya terasa ngelangut⁶². Tapi setidaknya kini ada Taraka yang selalu menghiburnya dengan senyum dan tawa.

💮

Aku baik-baik saja. Itu sebuah kebohongan terbodoh. Aku tidak baik-baik saja. Hati seorang pria pun bisa terasa seperti ditusuk hanya oleh seorang wanita.

Putraku—sebenarnya darah daging Tarangga—telah lahir, telah melihat agungnya ciptaan Tuhan. Aku bahagia, tetapi kekecewaan pun menghantuiku ketika mendapati putraku mirip sekali dengan Tarangga. Aku sudah tahu sedari awal, ketika aku diberitahu Niskala hamil di luar nikah dan aku tetap bersikukuh menikahinya, menyelamatkannya. Bukan tanpa sebab, kecantikan Niskala memang menarik hatiku. Terlebih, kami memang dijodohkan dan bapakku sangat mewanti-wantinya. Kedongkolanku bertambah setelah Niskala tidak meminta pendapatku soal nama bayi itu. Ia memberi nama Taraka tanpa persetujuanku.

Hidupku setelah menikah terasa membosankan. Niskala lebih sensitif dan perasa. Aku harus menuruti semua keinginannya yang kadang seenak jidat. Kebosanan itu kutahan supaya tak menimbulkan perkara dan aib baru.

Lahirnya Taraka tak mengubah hubungan rumah tanggaku menjadi lebih hangat. Ragaku dan Niskala memang dekat, tapi hatinya serasa tak terjangkau. Aku jarang mendapat atensinya. Ia enggan menatapku. Sungguh, aku muak. Bagaimanapun aku raja sekaligus suaminya dan ia harusnya lebih sopan padaku. Sikapnya itu sempat menimbulkan niatku untuk memiliki selir, kekasih lamaku yang akan kunikahi kalau Bapak dan Prabu tak menjodohkanku dengan Niskala.

Namanya Meranti, sinden gawan yang menemaniku selama tujuh tahun ini. Gadis desa yang penuh kesederhanaan dan menjunjung tinggi kesopanan. Waktu itu aku masih fokus dengan profesi dalangku, uang dari tanggapan kutabung untuk pernikahanku dengan Meranti. Namun, tiba-tiba Bapak membawaku ke Linggapuri untuk melamar Niskala. Penolakanku dihadiahi bogeman oleh Bapak, membuat nyaliku menciut. Tanpa pamit apa-apa pada Meranti, kutinggalkan ia yang entah saat ini bagaimana kabarnya. Ingin kucari dirinya dan kujadikan selir. Namun, selalu saja jiwaku memperingatkanku akan kesalahan Tarangga yang tak patut kutiru. Aku tak mau melanggar sifat sejati dalang hanya karena wanita. Cukuplah jalani apa yang telah terjadi dan mensyukurinya.
_______

⁶¹ Almarhum.

⁶² Sepi cenderung membosankan.

WikramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang