[20] suddenly came

796 80 13
                                    

Vanilla berdiri mematung di depan pintu apartemen, matanya menatap lurus namun pikirannya melayang. Di balik kesunyian malam, kegelisahannya semakin membuncah. Ia mengingat dengan jelas bagaimana raut kecewa yang terlintas di wajah Vero tadi. Rasa bersalah mengendap di hatinya, tapi di sisi lain, ada kegelisahan yang tak dapat ia abaikan. Sejak Axel pergi, hatinya tidak pernah tenang.

Vanilla menarik nafas dalam-dalam, tangannya yang memegang ponsel sedikit gemetar. "Gue harus ketemu Axel," pikirnya. Namun, ketika ia melirik jam di ponselnya, angka 00.15 terpampang jelas. Pikirannya seketika kalut. Ia ragu, apakah di jam segini masih ada layanan transportasi online yang bisa diandalkan? Jari-jarinya mengusap layar ponsel, namun belum sempat ia memesan, pikirannya kembali dipenuhi keraguan.

Pintu apartemen di depannya tiba-tiba terbuka, membuat Vanilla tersentak. Reno muncul dengan pakaian rapi, satu tangan menggenggam map tebal. Pandangan Vanilla mengikuti Reno yang tampak tergesa. Cowok itu terlihat siap berangkat bekerja, bahkan di tengah malam begini.

"Loh? Lo ngapain disini? Mana Rain?" Reno bertanya dengan nada terkejut sambil mengedarkan pandangan ke kiri dan kanan lorong, mencari keberadaan Rain.

Vanilla yang masih terkejut menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "A-aku mau ambil barang habis itu p-pulang, Kak. Terus Rain... dia... sama Bagas," jawabnya terbata-bata. Ia berusaha tersenyum canggung, namun jantungnya berdebar kencang.

Reno hanya mengangguk pelan, wajahnya sedikit bingung, namun ia tak bertanya lebih jauh. "Ya udah, masuk aja dulu," ucapnya sambil membuka pintu lebih lebar. Vanilla masuk dengan langkah ragu. Reno, alih-alih pergi, kembali duduk di ruang tamu, sibuk dengan ponselnya sementara Vanilla mengemasi barang-barangnya dengan cepat. Suasana hening namun penuh ketegangan, terutama bagi Vanilla yang merasa tidak nyaman berada di situasi ini.

Setelah selesai, Vanilla kembali ke ruang tamu dan menghampiri Reno. Cowok itu masih asyik dengan ponselnya, namun jelas sedang menunggu. Vanilla menggenggam tali tasnya dengan gugup, pandangannya sesekali melirik Reno yang terlihat santai.

"Makasih ya, Kak Reno. Aku pamit," ucap Vanilla, tersenyum canggung sebelum bergegas menuju pintu.

Reno mengangkat pandangannya sejenak dari ponsel, tersenyum tipis, lalu mengikuti Vanilla keluar apartemen. Langkah kaki mereka terdengar jelas di lorong yang sunyi. Vanilla merasa canggung, terutama karena Reno pernah menjadi saksi hubungan antara dirinya dan Axel. Berbohong tentang tujuannya tadi hanya menambah tekanan dalam pikirannya. Ia berharap bisa segera keluar dari situasi ini.

Ketika mereka sampai di lift, Reno memecah keheningan. "Lo mau pulang naik apa emangnya?" tanyanya sambil memasukkan ponsel ke saku celananya, suaranya tenang namun sedikit menguji.

Vanilla dengan cepat menjawab, berusaha terlihat percaya diri. "Pesen driver online."

Reno menahan tawa kecil yang tak bisa ia sembunyikan. Vanilla yang mendengar tawa itu mengernyit, bingung.

"Ada yang salah sama driver online, Kak?" tanya Vanilla penasaran, mencoba mencari penjelasan. "Di kota sebesar Jakarta kan harusnya aku bisa akses jam berapa pun."

Reno menggeleng, masih menahan senyum. "Bisa aja. Tapi lo yakin bakal aman sampai tujuan? Ini udah malem banget. Seharusnya lo lebih aware soal keamanan diri lo, Van."

Tepat saat itu, lift berhenti dan pintunya terbuka. Mereka tiba di basement. Reno keluar dengan langkah pasti, berjalan menuju mobilnya tanpa menoleh ke belakang. Ia tahu, jika Vanilla punya akal sehat, gadis itu pasti mengikutinya.

Vanilla berdiri sejenak di dalam lift, memejamkan matanya. "Bodoh banget gue, lupa nggak tekan lantai lobi," rutuknya dalam hati. Sekarang ia bahkan merasa gentar memesan ojek online setelah peringatan yang Reno berikan. Dengan sedikit kesal pada diri sendiri, ia memutuskan untuk keluar dari lift dan mengikuti Reno.

FanàticoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang