Call #18 - Perkara Jodoh - Jodohan

956 150 11
                                    

Brandon menatap lembaran amplop tebal yang sudah lebih dari sepuluh menit berada di meja tanpa ada niat menyentuhnya sedikit pun. Tadinya ia berharap kunjungan Beni sedikit membuat moodnya membaik karena ia menantikan cerita Beni tentang pengalamannya kencan buta dengan Giana. Sejak ia berniat menjodohkan Beni dengan Giana, perempuan yang dikenalnya secara random dan kini menjadi sosok yang ia pekerjakan untuk melukis mural, entah bagaimana hal itu sangat membuatnya penasaran. Brandon tahu ia hanya main-main dan setengah bercanda saat mengatakan akan menjodohkan Giana dengan Beni. Tidak disangka, Giana yang dikiranya bakal menolak mentah-mentah ide perjodohan itu justru menyambut dengan senang hati. Brandon iseng mengajukan ide perjodohan itu semata karena tidak ingin merasa kehilangan sosok yang membuatnya nyaman bicara tanpa ada niatan tersembunyi dibaliknya. Sudah lama ia tidak merasakan interaksi yang tulus dengan lawan jenis kecuali dengan para stafnya. Sedikit saja, ia ingin mempertahankan Giana lebih lama sebelum perempuan itu berniat kembali ke kampung halamannya. Ia jelas tidak mungkin mengajaknya berkencan, tidak ketika Brandon merasa ada bagian dirinya yang belum usai dengan masa lalunya. Jadilah nama "Beni" tercetus begitu saja seperti bisul yang mendadak muncul.

Sejujurnya ia sendiri tidak yakin apa mereka bakal cocok satu sama lain, tapi bukan itu yang lebih penting. Yang membuatnya penasaran adalah bagaimana reaksi Giana saat mereka bertemu pertama kali. Tanpa sadar, Brandon berkali-kali menghubungi Beni dan memang mengharapkan kedatangan laki-laki itu untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Namun, ia tidak mengharapkan kabar lain yang membuat moodnya seketika memburuk. Tidak sampai amplop itu diletakkan begitu saja oleh Beni di atas meja.

"Lo yakin nggak mau lihat apa isinya?" tanya Beni dengan canggung seolah ingin menguji kesabaran Brandon.

Brandon mendengus, "Dari amplopnya aja gue udah tahu nama siapa yang tertera di sana biarpun itu cuma inisial. Nggak penting gue tahu apa nggak soal apapun yang ada di amplop itu."

Beni mengangguk. "Gue juga udah bilang begitu, tapi yah dia maksa gue buat tetep nyampein undangan ini ke lo, gue bisa apa?"

"Ah udahlah, itu nggak penting. Yang lebih penting, gimana soal kencan lo sama Giana?"

"Oh, jadi Giana lebih penting dari Clarissa sekarang?" selidik Beni.

"Gue merasa perlu tahu karena gue yang jodohin kalian," ujar Brandon berdehem sejenak.

"Tebakan lo gimana?"

"Kok lo malah nanya ke gue?"

"Wah, kalau gitu gue salah nanya nih, maksud gue... gimana perasaan lo setelah tahu kencan gue sama Giana berhasil?"

Brandon mengernyit, merasa pertanyaan Beni itu konyol. "Gue yang kenalin kalian, kalau kalian memang saling suka ya baguslah. Maksud pertanyaan lo apa sih?" Tanpa sadar, Brandon menaikkan suaranya lebih tinggi. Tidak bisa menahan kekesalannya.

"Nah itu maksud gue. Gue penasaran kenapa lo nggak jujur sama diri lo sendiri."

"Apanya yang nggak jujur?"

"HHhhh masih aja nggak nyadar. Gue ke sini ngasih undangan pertunangannya Clarissa, tapi lo lebih tertarik ngomongin kencan buta gue sama perempuan lain. Lo... dari sekian orang temen gue adalah orang terakhir yang penasaran sama kehidupan pribadi gue, lo nggak ngerasa lo sendiri aneh?"

Brandon menghela napas dan meletakkan lehernya di sandaran sofa hingga ia bisa melihat langit-langit apartemennya sendiri. "Gue nggak ngerti maksud lo apaaa, setan?"

"Giana."

"What about her?"

"I don't know, Man... Sejak gue tahu kalau dia bakal segera pindah dan nggak tinggal di Jakarta lagi, gue bisa nebak apa yang coba lo lakukan."

Brandon terdiam. Untuk pertama kalinya ia merasa percuma menyembunyikan niatnya. Terutama di hadapan sosok yang sudah seperti kakak kandungnya sendiri.

"Lo berusaha pertahanin dia lebih lama dengan ngenalin dia ke gue. Lo yang risi dengan perempuan-perempuan yang sok akrab dengan nempel-nempel ke lo. Lo yang nggak mau dikenalin sama cewek-cewek cantik bahkan selevel artis. Selalu nolak ngasih nomor telepon lo apalagi alamat lo. Dan gue tahu lo berusaha misahin kehidupan lo sebagai Brandon dan Darren si penyiar, tapi lo nggak ragu buat ngenalin Giana ke gue yang mana gue paling tahu soal lo. Lo tuh suka sama Giana, ya kan?"

"Jangan nyimpulin sesuatu yang nggak-nggak. Gue baik sama dia bukan berarti gue suka."

"Oke, oke... kalau buat lo kata "suka" itu terlalu kuat, gue ganti dengan "nyaman". Lo nyaman sama dia dan lo bersimpati sama dia sampai lo ngerasa lo bakal kehilangan dia kalau dia pindah ke Solo seperti rencananya. Lo pun ajuin nama gue buat dikenalin siapa tahu dengan kenal gue dia nggak jadi pindah. Catat ya... Gue, dan bukannya temen-temen lo yang lain. Gue... yang tahu lo luar dalam. Itu artinya lo nggak takut gue bakal beberin info macam-macam soal lo ke Giana. Lo nggak nyadar lo sesuka itu ke dia?"

"Well, kalaupun dia tahu... biar saja. Toh dari awal gue emang nggak berniat menyembunyikan identitas gue sebagai penyiar. Lo benar, gue emang bersimpati sama dia, tapi bukan berarti gue suka. Gue cuma berniat baik karena dia sepertinya kesepian dan butuh teman."

"Terus lo gimana? Lo juga kesepian dan lo ngaku nggak butuh teman?"

"Jangan terlalu mendramatisir, kesepian itu beda dengan nyaman sendiri."

Beni mengangguk-angguk, "Jadi lo nggak bakal keberatan kalau gue bakal all in sama Giana? I mean, dia cantik. Meski janda anak satu, dia masih sangat memesona. Obrolan kami nyambung. Kami sama-sama suka dessert dan taruhan next date kami sudah nggak akan canggung karena dia nyaman ngobrol sama gue. Ahhh... lo juga pasti nggak keberatan kan kalau Giana gue ajak jadi plus one gue buat datang ke pesta pertunangannya Clarissa. Are you sure?"

Brandon mengangkat kedua tangannya, "Well, good luck. Gue malah senang."

"Baguslah... Kayaknya dia juga suka sama gue. Pas nganter Giana pulang ada laki-laki lain yang kayaknya bakal jadi saingan gue. Ganteng orangnya, tapi muka dia sepet banget pas gue ngobrol berdua sama Giana. Dan lo tahu nggak? Giana langsung gandeng lengan gue dan mamerin ke dia kalau dia baru aja nge-date sama gue. Jelas dia tipe ideal gue. Nggak suka basa-basi dan nggak suka kasih sinyal palsu."

"Lo nggak perlu khawatir. Laki-laki itu mantannya dia sebelum nikah sama suaminya. Masih sepupu almarhum lakinya."

"Damn, untuk ukuran orang yang nggak peduli, lo ternyata tahu banyak ya? Lo nggak bakal tiba-tiba jadi saingan gue kan?"

Brandon terdiam dan sesaat ia merasa ragu untuk menjawab. "Nggak lah, gue bakal dukung kalian." Saat mengatakan itu, entah kenapa tangan Brandon terasa sangat dingin, seolah suhu pendingin udara di apartemennya turun drastis.

"Oke... gue cuma mau nyampein undangan itu. Jangan lupa mulai besok lu siaran siang. Gue harap nggak ada drama-drama nggak jelas lagi antara lo sama penyiar radio sebelah, atau sama yang lain."

"Itu sih tergantung dianya, bakal nyari gara-gara ke gue apa enggak," ujar Brandon sekenanya.

"Elonya ya behave lah... Jangan sampai lo mabok siang-siang pas siaran. Lo mau gue mati muda apa?"

"Berisik lo ah... lo kira gue anak kecil apa?"

Brandon pun melambaikan tangan meski dirinya enggan beranjak untuk mengantar Beni keluar dari apartemennya. Ia seharusnya mencemaskan hal lain, tapi bagaimana bisa saat ini yang ada di pikirannya adalah Giana. Ia kira dirinya akan senang mendengar bahwa Beni dan Giana cocok satu sama lain. Bagaimana bisa ia sama sekali tidak merasa senang mendengar pengakuan Beni barusan dan tekadnya untuk mendekati Giana sepenuhnya?

***

Call Me When You're Single Où les histoires vivent. Découvrez maintenant