03 - THEY ARE AVES

32.5K 1.5K 1
                                    

03 – THEY ARE AVES

03 – THEY ARE AVES

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

DUA JAM sebelum waktu pulang di hari kamis, WL High School mempunyai mata pelajaran peminatan, atau disebut juga dengan selectives. Dan tepat hari ini Vannesya masuk sebagai murid baru di sekolah itu. Selectives wajib dipilih oleh seluruh murid, Vannesya tidak tahu apakah sekolah lain di New York juga mempunyai pelajaran yang sama. 

Selectives yang dimaksud berbeda dengan ekskul. Jika selectives menjadi hal yang wajib, maka ekskul tidak diwajibkan diikuti oleh semua murid. Meski ada beberapa peminatan yang sama dengan ekskul. Karena baru pertama kali masuk, Vannesya belum menentukan akan memilih apa sebagai program peminatannya.

Satu per satu murid di kelas mulai keluar untuk program peminatan masing-masing.

Emma menghampirinya lebih dulu. Gadis yang telah dikategorikan Vannesya sebagai orang yang imut itu datang sambil menenteng beberapa buku tebal di tangannya. “Kamu belum nentuin mau ambil selectives apa?”

Vannesya menggeleng pelan. “Belum. Baru dikasih formulirnya tadi. Lo sendiri ambil apa?”

“Publishing.” Vannesya hanya mengangguk paham. Emma memperhatikan Vannesya yang kembali fokus dengan ponsel. “Daripada kamu sendirian di sini, mending ikut aku aja.”

“Ke mana?”

“Perpus. Hari ini anggota publishing seangkatan kita kerjanya di perpus. Siapa tau nanti kamu tertarik masuk publishing.” Emma tersenyum lebar, dia memang suka tersenyum. Tapi sayang, karena wajah Asianya—yang menurut Vannesya cantik—malah menjadi alasan utama kenapa Emma jarang tersenyum selama di sekolah.

“Masuk publishing?” Vannesya merinding. “Oh, nggak dulu. Gue nggak tertarik.” Ia bukan orang yang pandai merangkai kata atau suka membaca buku. Publishing yang dimaksud oleh Emma pasti tidak jauh-jauh dari sekumpulan tulisan seperti puisi, berita dan majalah sekolah. “Tapi emangnya boleh kalau gue ikut lo?”

“Boleh. Karena kamu murid baru jadi dikasih kebebasan untuk lihat-lihat dulu selectives yang mau kamu ambil. Kalau kamu nggak mau gabung sebentar, kamu bisa baca-baca buku di perpus. Di sana buku-bukunya lengkap. Daripada kamu di kelas sendirian.”

Tampak berpikir sebentar, Vannesya akhirnya setuju untuk ikut dengan Emma ke perpustakaan. Sekalian untuk melihat-lihat suasana sekolah yang belum ia lewati.

Keluar dari gedung kelas, Vannesya merasa terpesona melihat suasana sekolah. WL High School bahkan dua kali lebih besar dari DES—sekolahnya di Jakarta. Arsitekstur sekolah ini seperti desain bangunan lama. Di beberapa bagian tertentu bangunannya hanya berupa bata merah tanpa pelapis semen, sengaja dibuat agar terlihat berkelas dengan kesan desain ala Eropa tahun delapan puluhan sampai sembilan puluhan. Sementara untuk warna cat, mayoritas menggunakan warna merah bata.

ENVELOVE [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang