22. Jiwa yang Mati Separuh

40 7 4
                                    

•••••

Sulit dipercaya, seseorang yang dulunya sering nimbrung sana-sini sekarang menjadi pribadi yang senang menyendiri.

Menjauh dari keramaian dan butuh ketenangan dari beberapa hal yang melukainya. Tapi sialnya, hal itu tidak sepenuhnya membuat ia sedikit lebih baik.

Ketika dia berada jauh dari kebersamaan maka tidak dipungkiri ia merasa mati perlahan. Jiwa yang ada terasa mati separuhnya. Bernyawa tapi layaknya orang mati.

Terjebak dalam sebuah hubungan yang masih melibatkan orang lama begitu menyulitkannya. Eksistensi dirinya kadang di anggap ada, kadang hilang terlupakan. Walau merasa tidak nyaman ia cukup sadar diri karena ia cuma sosok yang baru hadir dalam kehidupan Kevin.

Rain menaiki tangga dengan pandangan datar. Mungkin satu atau dua bulan kedepan, rooftop masih menjadi tempat pelariannya paling aman untuk menyendiri.

Langkah itu berhenti saat baru saja sepasang kakinya berpijak di lantai paling atas itu. Rupa-rupanya bukan cuma dia yang menjadikan tempat ini sebagai pelarian.

Rafael duduk termenung diantara tumpukan kursi rusak. Tubuh itu tersandar didinding pembatas dengan sebilah sigaret terselip disela-sela jari. Lalu ia hisap perlahan hingga kepulan asap mengudara keluar dari mulutnya.

Rain mengubah raut wajahnya menjadi lebih tenang dengan pendar mata yang berbinar. Menutupi segala resah yang ada. Lalu menghampiri Rafael yang nampak menyedihkan.

"Jadi ini alasan lo selalu bolos di mapel tambahan?"

Menyadari kehadiran orang lain disana, lelaki dengan sorot legam yang tampak lelah itu segera mematikan puntung sigaretnya.

Lantas ia berdehem sambil menggangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Rain barusan.

Sementara Rain melipat kedua tangan di dada dan ikut bersandar di sebelah Rafael dengan jarak lumayan jauh.

"Bisa-bisanya lo anteng gini pas mau ujian. Tinggal tiga hari doang loh, senin udah mulai tempur."

"Udah nyiapan amunisi belum?" Imbuh Rain lagi.

"Gue gak pengen lulus, Rain." Jawabnya cepat.

"Maksud lo?" Tanya Rain bingung.

"Iya. Maksudnya gue gak pengen cepet-cepet lulus.

"Kenapa?"

"Gue gak mau pergi."

Gurat putus asa begitu jelas terlihat dan semakin membuat Rain kebingungan. Susah dicerna maksud perkataannya.

"Gue cuma punya bokap. Sejak nyokap pergi, hidup gue mulai terasa timpang." Ucap Rafael memulai ceritanya.

"Gue hidup dalam lingkup keluarga yang otoriter. Bokap gue punya ekpekstasi sempurna atas diri gue. Padahal gue gak mampu, gue juga manusia yang punya kekurangan. Nobody is perfect, right?"

"Hmm." Rain mengangguk menyetujui.

"Dulu bokap nyuruh masuk ipa, padahal gue gak suka. Gue lebih suka molor ketimbang belajar kayak murid lain karena malam-malam gue penuh insomnia."

Desember, hujan, dan lukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang