Tetesan Harapan Ayah 2

0 0 0
                                    

Sejak tawaran yang disampaikan ayahnya, Ray menjadi gelisah. Dia membayangkan suatu waktu nanti dia akan lari pulang dan menangis karena diganggu oleh temannya atau kakak kelasnya.
Entah mengapa perasaan itu muncul di pikirannya. Mungkin karena dulu dia sering menyaksikan abangnya yang tiap sebentar pulang dalam keadaan menangis disertai emosional.
"Aku tak mau dibotak, bukan aku yang salah. Tetap saja aku yang dihukum," ucap lelaki yang pulang bakda Magrib tanpa alas kaki. Seperti seorang tahanan yang kabur dari penjarah, seorang lelaki yang masih duduk di kelas 1 Tsanawiyah pulau ke rumah terengah-engah seperti kuda yang pulang dari berlari kencang.
"Kok kamu pulang, kabur ya?"
"Benar, aku kabur, tak terima begini."
Mengapa pula kamu pulang,. Seharusnya kamu langsung lapor kepada ustaz. Tak begini cara menyelesaikan masalah," ucap lelaki separuh baya yang sedang menggendong tangan kanannya.
"Tak akan ada yang dengar, apapun yang aku sampaikan tak akan pernah didengar. Percuma..." Lelaki usia 13 tahun itu terus saja menjawab pertanyaan ayahnya tanpa Jedah.
Walau sebetulnya lelaki sulung itu keletihan karena sudah melakukan. Perjalan sejauh 5 kilometer bertelanjang kaki.
Namun untuk menjawab pertanyaan prihal dirinya, secepat kilat dia menyelesaikan pertanyaan ayahnya seperti seorang juru bicara dalam lomba cerdas cermat.
Karim kehilangan kata-kata, sambil menggelengkan kepada dengan berjalan tertatih, dia berusaha untuk duduk menenangkan putra sulungnya itu.
"Mari ayah antar lagi, biar ayah yang berbicara dengan ustaz, kita naik becak saja, ayah belum bisa membawa kendaraan."
"Sudahlah, jangan lagi paksa aku."
"Jadi.... Maksudnya kamu tak mau sekolah? Ingat Nak. Sudah banyak biaya yang ayah keluarkan mulai dari  mempersiapkan biaya di pesantren pertama. Itu ada pakaian seragam juga yang tak kunjung selesai ansuran. Sekarang, kamu dihadapkan pilihan sulit. Apakah akan melanjutkan sekolah di pesantren? Atau...."
"Aku mau pindah ke sekolah SMP biasa."
"Ah kamu ini, dulu kamu sudah minta pindah dari pesantren yang pertama dan berjanji untuk lebih sungguh -sungguh. ucapmu sambil bermohon." Tanya lelaki yang kerut dikeningnya semakin banyak saja.
"Aku pikir memang sekolah ini lebih baik, kenyataan sama saja."
"Jangan pernah salahkan sekolah, Itu tergantung kita, baik buruknya itu bayangan kita." Tegas lelaki yang kesehahatannya mulai terganggu sejak jatuh dari motor beberapa bulan belakangan ini.
Setelah Karim separuh membentak, putranya pun terdiam dan langsung berlari ke kamar.
Istri Karim pun datang dari arah dapur mencoba mengingatkan suaminya.
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Ingat kesehatan."
"Mana bisa tak dipikirkan, dia anak pertama, harapan kita. Sekarang jadi begini. Berbagai usaha seolah tak membawa hasil."
"Turunkan emosi, Bang. Jangan sampai menambah masalah kita. Abang tumpuan keluarga. Aku tak bisa bantu kerja. Hanya disibukkan mengurus bayi dari waktu ke waktu."
Malam itu menjadi hening setelah ratu rumah itu ikut berkomentar. Karim pun kembali ke kamar untuk beristirahat.
Istri Karim pun kembali ke dapur, sambil berkomat kamit seperti dukun yang sedang membaca mantra.
Rayhan yang masih duduk di kelas 1 SD itu datang menghampiri ibunya.
"Mengapa Abang Bu."
"Jangan tanya-tanya. Hal itu tak perlu dibahas, ayo pergi tidur sana."
Raihan tak mendapatkan jawaban apa pun. Bahkan saat dia bertanya kepada ke abangnya. Abangnya marah-marah dan mengusirnya keluar kamar.
Anggota rumah itu sedang berlomba dalam mimpi buruk yang menghantui keluarga itu.
Kata orang, ucapan adalah doa.
Apapun yang ingin diutarakan, pikirlah terlebih dahulu. Jangan sampai kelak menyesal karena sudah terlanjur berucap. Diperparah lagi jika saling jawab yang bisa melukai hati yang menyaksikan.
Dalam kemelut yang melanda mereka pergi ke istana kelambu dengan pikiran masing-masing.
"Jangan... Jangan paksa aku. Aku tak mau lagi." Pekik Jaiz yang didengar oleh Ray.
"Abang...bangun. Abang pasti bermimpi. Rayhan melihat abangnya yang mengigau sampai berkeringat.
"Kamu tak boleh pulang. Kamu harus selesai." Karim pun sedang mengigau.
"Sudahlah, Bang. Jangan itu juga yang dipikirkan. Sampai terbawa mimpi."
Karim seolah tak peduli panggilan istrinya, terus saja memperpanjang durasi mimpinya. Ibu Rayhan pun merebahkan tubuhnya di samping suaminya dalam keadaan kesal. Ditariknya selimutnya untuk menutupi seluruh tubuhnya seolah tak ingin dikenal oleh orang lain.
Akhirnya menjelang tidurnya menyadari sikap buruknya tadi kepada suami dan putranya.
"Ya Allah, ampunilah dosa lisan ini ya Allah yang selalu tergelincir, dan tak mampu mengendalikan sesuatu." Istri Karim terus memperjelas bujukannya kepada Allah agar dipermudah semua urusan.
Pagi harinya matahari menyala seolah marah dengan manusia yang masih saja tertidur pulas sementara matahari sudah meninggi.
Jaiz seperti tak peduli dengan sapaan cahaya matahari yang menyelinap di pintu jendela rumah itu.
Rayhan melihat abangnya seperti tak berdaya, tertidur pulas dengan kepala botak bulat seperti bola. Rayhan membayangkan abangnya yang seolah pesantren bukan tempat  yang nyaman baginya.

Kisah Inspiratif Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang