Bab : 06

97 11 1
                                    

—oOo—

Pada dasarnya Kia mengerti bahwa tidak ada yang adil dalam hidup ini. Segala sesuatu yang terdapat di dalam kehidupan pun tidak pernah bisa didapatkan secara cuma-cuma. Tetapi ia tidak bisa menerima apa yang terjadi padanya saat ini.

Hatinya lebih dari hancur. Begitu juga dengan mimpi indahnya mengenai bahtera rumah tangga yang seharusnya membuat bahagia. Kini, bahkan membayangkan dirinya dan Jake bersanding di pelamina saja terlalu sulit. Yang dapat ia rasakan hanyalah perih, bukannya senang.

Kia meringsut di daun pintu kamar yang tertutup rapat. Menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan lengan. Menangis tersedu-sedu sampai dunia terlihat mengabur di dalam penglihatannya. Semua memburam, sama seperti masa depannya.

"Semua ini tidak ada gunanya lagi," gumamnya dalam seguk yang menyesakkan dada.

Dalam buram yang mendominasi penglihatannya, ia menatap nyalang. Memperhatikan bagaimana gorden meliuk-liuk diterpa angin malam.

Perlahan, Kia bangkit dari duduknya. Berjalan ke arah balkon yang entah mengapa dibiarkan terbuka. Mungkin ia lupa menutupnya. Ketika langkahnya semakin mendekati balkon, angin dingin langsung menyerbunya begitu saja. Seolah angin sengaja membuatnya sadar bahwa tidak ada yang memeluknya selain sepi.

Kia merasakan kepalanya sakit. Penuh dengan roman picisan yang pernah menjadi kenangan bahagia bersama Jake. Sedangkan hatinya sibuk menyanyikan lagu kesedihan sehingga derai air mata tak kunjung surut di wajahnya.

Segala kepayahan, amarah, rasa sakit dan terhina bergemuruh menyerang hatinya secara bertubi-tubi. Membuat sesak. Dan kesesakan itu menuntun tubuhnya untuk bergerak mendekati pagar balkon. Kaki-kaki telanjangnya mulai menaiki pagar setinggi pinggang itu, membiarkan embus angin menerjang tubuhnya sehingga gaun lebarnya terasa berat. Dia sudah tidak tahan lagi. Ingin segera melompat dari ketinggian tiga lantai.

Beruntung, Heeseung datang tepat waktu. Meraih tangan Kia dan menariknya secepat mungkin sehingga gadis itu ambruk ke lantai, menimpa dada Heeseung.

"Percuma melompat dari sana. Kau hanya akan mengalami patah tulang."

Kia tidak bersuara. Tetapi isaknya jelas terdengar. Ia mencengkeram pakaian Heeseung, menangis di dadanya. Begitu menyadarinya, Heeseung pun memeluk tubuh gadis itu. Menepuk lembut punggungnya yang sempit.

"Menangislah sepuasmu. Ada aku di sisimu."

Dan Kia benar-benar menguras air matanya dalam pelukan Heeseung. Tidak peduli siapa pria itu atau bagaimana ia akan menilai Kia nantinya... Kia hanya membutuhkan sebuah sandaran. Hatinya terlalu dipenuhi kabut pilu.

Jadi biarlah malam ini berlalu dengan senandung tangis Kia sementara dersik angin dingin menjadi dawainya. Menyelimuti tubuh Heeseung yang merengkuh Kia sambil memberikan tepukan lembut yang menenangkan. Kia terus menangis dalam diam, tanpa sepatah kata pun yang kiranya bisa menjelaskan bagaimana perasaannya saat ini.

Satu-satunya suara yang keluar darinya hanyala sisa-sisa seguk yang kemudian perlahan meredam seiring terlelapnya gadis itu. Barulah setelah itu Heeseung mengangkat tubuhnya dalam gendongan dan merebahkannya di atas ranjang.

"Dasar keras kepala. Apa susahnya menerima tawaranku, hm?" bisik Heeseung sambil merapikan rambut Kia.

Dapat Heeseung lihat kelopak mata Kia membengkak. Ia yakin besok pagi Kia tidak akan berani menatapnya karena hal itu. Bahkan bisa jadi gadis itu akan kesulitan membuka mata.

"E-ehm." Tiba-tiba suara dehaman seorang perempuan terdengar.

Heeseung menoleh. Mencampakkan pandangannya pada tubuh Kia yang sedang ia selimuti. Menatap seorang gadis yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu yang terbuka, membebankan sebagian berat tubuhnya sambil bersendekap.

"Siapa dia?" tanya gadis itu.

Sudut bibir Heeseung tertarik, menciptakan sebuah seringaian. "Mendengarmu bertanya begitu artinya kau belum bertemu Soobin Hyung."

"Apa hubungannya?"

Sebenarnya tidak ada. Hanya saja, melihat kedekatan gadis ini dengan Soobin rasanya tidak mungkin Soobin melewatkan sesi bercerita mengenai gadis yang Heeseung bawa. Tetapi alih-alih memberi penjelasan, Heeseung justru melangkah keluar kamar. Melewati gadis itu begitu saja dan berjalan mengarah ke bar mini yang terletak tak jauh dari kamar Kia.

"Lee Heeseung!" panggil gadis itu sambil mengikuti gerak langkah Heeseung.

"Cerewet sekali," kekeh Heeseung.

Ia duduk di salah satu bar, mengambil sebotol wiski dan menuangnya ke dalam gelas dan meneguknya. Tetapi pada tegukan kedua, ia harus berdecak kesal karena gadis itu merampas gelasnya.

"Aku bertanya dan aku butuh jawabanmu. Sekarang juga!"

"Tck! Karina." Suaranya masih selembut biasanya, tetapi ada peringatan keras yang tersirat di dalam tuturnya.

Gadis bernama Karina itu pun menghela napas kesal. Meletakkan gelas wiski dengan hentakan kasar sambil berkata;

"Jika kau tidak mau memberitahuku, maka aku akan bertanya sendiri padanya."

Gadis itu hendak beranjak, tetapi Heeseung sudah lebih dulu mencengkeram pergelangan tangannya. Keduanya pun menoleh, saling mengunci bayangan masing-masing dalam tatapan tajam.

"Jangan macam-macam dengannya."

Karina menyeringai sarkas. "Aku bukan seseorang yang bisa kau perintah."

Helaan napas Heeseung terdengar berat. Ia sangat mengenal Karina. Gadis itu tak hanya cantik dan bersahaja, tetapi ia adalah tipikal alpha woman yang tidak akan mudah dipengaruhi. Berharap ia akan menurut? Jangan bermimpi.

"Baiklah, akan kuceritakan padamu," final Heeseung kemudian.

"I'm wait."

Heeseung melepaskan cengkeraman tangannya dari lengan Karina. Beranjak dari duduknya dan menyaku kedua tangan di saku celana.

"Tidak di sini."

"Kenapa? Kau takut dia mendengar percakapan kita?"

"Kita bicara di kamarku saja." Heeseung meraih merangkul pinggang Karina dari belakang, mengajaknya beranjak dari bar mini.

Tetapi Karina menghempaskan tangan Heeseung sambil menolak dengan tegas.

"Tidak!"

Sekali lagi, Heeseung membelenggu pinggang Karina. Membawanya dalam langkah yang menegaskan bahwa ia sedang tidak ingin main-main saat ini.

Bukan alasan Heeseung mengajak Karina ke dalam kamar. Karena apapun yang akan keluar dari mulut Heeseung adalah sesuatu yang bersifat sangat rahasia. Ia tidak ingin Kia mendengarnya. Terlebih lagi adalah kamar Heeseung sudah dilengkapi sistem kedap suara. Jadi apapun yang akan ia katakan di sana tidak akan sampai ke telinga seekor cicak sekalipun.

"Sekarang katakan!" tuntut Karina begitu mereka memasuki kamar mewah milik Heeseung.

"Duduklah."

"Aku tidak punya waktu untuk—"

"Dia kekasihku," sahut Heeseung.

Ucapan Karina seketika terhenti. Ia mengerut dahi —tidak percaya.

"Kau? Memiliki kekasih?" Seringai sarkas terpahat di wajah cantik Karina. Berani bersumpah, bahkan jika pun langit runtuh di atas kepalanya ia tidak akan percaya begitu saja bahwa pria keras kepala di hadapannya ini memiliki sedikit ruang untuk cinta di dalam hatinya.

Bahkan ketika Heeseung mengangguki pertanyaannya.

"Sebenarnya dia tunangan Jake. Tapi aku memutuskan untuk menjadikannya kekasihku."

"Jake?" Habis sudah kesabaran Karina. Ia mendekati Heeseung, mencengkeram kerah pakaiannya sampai-sampai Heeseung harus menunduk. "Jangan main-main!"

"Aku tidak sedang bermain-main dengan siapapun." Dengan tutur setajam tatapannya, Heeseung membuat pengakuan; "Aku ingin lihat bagaimana Jake jika aku merampas Kia darinya."

—tbc

BLACK ACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang