5 : Udara kosong yang kau lihat itu tak selamanya sama artinya

114 14 1
                                    

Note : still Kim Dokja Point of View.

"Apa akhirnya kau selesai berpura-pura bodoh?" Pura-pura bodoh, dia tetap mengumpatkan intinya seperti biasa. Membuatku terkekeh lagi.

"Dua orang yang berpura-pura bodoh maksudmu?" Kali ini ia mengeluarkan decakan lidah legenda miliknya itu, mendekatkan jari-jariku yang dingin ke bibir hangatnya.

Sial, satu senyuman yang jarang kulihat itu nampak lagi untuk membuatku tak jelas bertingkah seperti apa. Ia tau itu, dan tetap melakukannya berkali-kali. Seringai itu tak ada turunnya, sepertinya tetap dengan gairah, dan semangat untuk menggodaku.

"Bisakah kau hentikan itu?" Ia akhirnya berhenti melakukannya, dan menatapku lurus, lelaki itu mengeratkan talian tangan kami. Wajah serius itu, Tuhan.

"Katakan padaku."

Mulutku masih terkunci rapat, menyatakan hal yang kau takuti membutuhkan keberanian yang setara. Aku bahkan tak pernah memikirkan untuk mengucapkannya pada Yoo Joonghyuk, mata yang menatapku itu seperti memberikan tangannya untuk keluar dari muram gelap penjara trauma yang mengikatku di dalam tembok-temboknya.

"Kim Dokja.." Sepertinya aku benar-benar hampir gila, suara itu membuka mulutku yang terkunci.

"Aku bukanlah orang baik, dosa terlampau besar yang kumiliki terlalu berat untuk dibebankan pada orang lain."

Decihan itu akhirnya keluar, "Lalu kau menyuruhku menjauh darimu selamanya?"

Tidak.

"Apa kau meninggalkanku sendiri lagi?"

Tidak.

"Apa aku harus menanggung dosa besar juga hanya agar kau bersamaku?"

Tidak.

Tidak, tidak, tidak, tidak.

"Kenapa hanya diam?"

Karena lima huruf yang ingin ku ucapkan tak akan pernah akan keluar dari mulutku, manusia memanglah aneh. Terkadang membunuh nyawa semudah itu namun mengeluarkan satu patah kata sesusah itu, pita suara yang rasanya membeku bersamaan dengan kucian tatapan mata lelaki di depan menenggelamkanku dalam pemberhentian statis.

Khayalan mengenai bahagia bersama adalah suatu hal paling radikal yang pernah kupikirkan, karena semua mimpi semu itu tak pernah jadi benar-benar milikku.

"Im yours." Begitulah saat ini kau menyatakan diri untuk menjadi milikku diantara sekian mimpi yang telah terpendam, dan terlupakan.

Aku masih bisu, kata-kataku masih terjerat di rongga keronkonganku, yang tak mau diolah oleh lidah kelu kaku ini. Mimpi yang selama ini aku impikan, mimpi-mimpi dari sekian yang berada di bawah kuburan namun kali ini berada tepat di depanku. Bahkan aku memegang tangan dan merasakan kehangatannya.

Apa aku harus senang?

Apa aku harus sedih?

Apa yang seharusnya aku rasakan untuk kejutan baru seperti ini?

Sampai meninggal manusia tetap belajar, tapi tak ada habisnya juga semua materi tentang duniawi yang posibilitasnya tak hingga. Mengambil jeda, berlari, tapi akhirnya kembali lagi pada papan penuh pertanyaan tanpa jeda, ada saja pertanyaan baru setiap harinya.

"Kau sepertinya lebih terkejut dari pada aku."

"Dasar bodoh, bukannya sudah jelas?"

Karena jarak ku dengannya tak terlalu jauh, ia meletakan tanganku di atas dadanya. Merasakan detakan cepat, terburu-buru seperti habis berlari puluhan kilometer. Rona wajahnya memerah entah karena dingin, entah karena alkohol, atau karena hal lain.

"Aku suka seperti ini, saat ada kamu di sini. Jadi tak perlu memikirkan hal-hal yang membuatmu pusing."

Aku tidak paham mengenai banyak hal, salah satunya adalah pria ini. Seorang yang tak memiliki apapun kecuali dosa besar sepertiku ini membuat hatinya tergerak, atas dasar apa? Atas alasan apa? Memberikan hati pada seorang Kim Dokja yang tak memiliki nilai pada dunia. Sekali lagi aku berpikir ulang, menggunakan metode yang sama untuk mencerna kedua kalinya. Barang kali ada yang terlewat, ternyata tetap sama hasilnya.

"Aku tidak paham."

Yoo Joonghyuk terdiam sebentar menatapku dengan ekspresi tak terdeskripsikan, karena aku baru kali ini melihat orang yang menatapku seperti itu. Semuanya membingungkan.

"Hmm, kau tau kalau butuh waktu untuk seseorang paham kan? Bagaimana kalau santai saja dan biarkan aku membantumu?"

"Memahami apa sebenarnya?"

"Hal yang kau bilang aku takut itu, kita pelajari pelan-pelan."

Pelajari pelan-pelan. Pada saat ini aku tak mempunyai jawaban apapun, hanya terdiam menatap netranya yang kucari arti maknanya itu. Tapi sepertinya memang benar, aku harus mempelajarinya pelan-pelan.

Ukira Realita [JoongDok]Where stories live. Discover now