بسم الله الرحمن الرحيم
"Bukankah, cara mencintai yang paling indah itu adalah dengan melangitkan namanya? Mendoakan kebaikan untuknya. Sampai nanti, Dia akan mempertemukan di waktu yang tepat."
-Geandra-
...“Abah, Qibty izin ikut Wirda latihan kaligrafi, ya.” Gadis yang baru keluar dari kamarnya langsung mengambil tempat di bangku yang masih kosong. Di samping kanannya sudah anteng Hana yang menikmati nasi goreng buatan ummahnya.
“Latihannya sama ustazah Habibah?” tanya ummah Khadijah sembari menuangkan teh hangat untuk suaminya.
Qibty mengangguk cepat. “Nggeh, Ummah. Boleh, kan, Bah?” tanyanya masih menampilkan senyum manis pada pria yang duduk di bangku paling tengah.
“Boleh, Nduk. Selama itu mengandung kebaikan dan manfaat, Abah tidak melarang,” sahut Kiyai Zaen tersenyum.
“Alhamdulillah. Matur nuwun Abah.” Qibty langsung melahap makanannya agar bisa segera ke asrama untuk menemui Wirda dan mengajaknya ke masjid bersama.
Hari ini ia dan teman sekelasnya sudah berencana untuk menghabiskan waktu paginya di pendopo putri untuk belajar kaligrafi sampai menjelang zuhur.
Setelah menghabiskan makanannya, Qibty langsung mengambil beberapa alat yang akan digunakan nanti. Selepas itu, ia berpamitan pada orang tuanya yang berada di ruang tamu.
Kali ini, ia sengaja lewat gedung sekolah agar bisa jalan-jalan sebentar. Siapa tahu temannya ada di sana. Ketika dalam perjalanan menuju asrama putri, netra hitam miliknya tak sengaja menangkap sosok yang tengah berdiri di bawah tiang.
Qibty menghentikan gerakan kakinya. Mata bulatnya ia micingkan sedikit agar bisa melihat dengan jelas objek yang berjarak beberapa meter dari tempatnya. Tiba-tiba saja, kedua sudut bibirnya tertarik ke ujung membentuk lengkungan yang indah.
Entah kenapa, ia merasa senang melihat laki-laki itu lagi setelah kemarin tidak kembali ke asrama tanpa keterangan. Ia tahu itu dari ustaz Hisyam yang memberitahu abahnya kemarin.
Beberapa menit memperhatikan dari kejauhan, gadis itu hendak beranjak karena pelaksanaan latihan kaligrafi tinggal sepuluh menit lagi. Namun, langkahnya terpaksa tertahan ketika sosok itu membuka masker hitam yang menutupi wajahnya.
Rupanya, laki-laki itu hendak mengelap keringat yang mulai memenuhi wajah putihnya. Sebenarnya bukan itu yang menjadi alasannya belum beranjak sampai sekarang, tetapi ia sedang mengamati lebam yang ada di wajah laki-laki itu.
“Mukanya kenapa luka kayak gitu?” pikirnya menyiratkan wajah khawatir. “Apa dia habis bertengkar? Dengan siapa?”
Belum sempat menemukan jawaban, laki-laki itu sudah kembali menutup wajahnya dengan masker hitam tadi. Tidak sampai di situ, tangannya yang tidak sedang memegang kitab ia gunakan untuk memijit kepalanya. Hal itu ia lakukan beberapa kali sebelum akhirnya kembali pada posisi semula.
“Apa dia sakit, ya?” gumam Qibty lagi.
Kini, otaknya sudah dipenuhi dengan beragam pertanyaan yang tidak mungkin ia temukan jawabannya jika tidak bertanya langsung. Di tengah kebingungannya, Qibty tiba-tiba teringat sesuatu. Spontan, ia pun berlari kecil kembali ke ndalem untuk mengambil sesuatu.
Sekitar tiga menitan, Qibty berhasil sampai kamarnya lewat pintu belakang karena di pintu depan ada beberapa santri putra yang sedang piket. Setelah meletakkan barangnya, kini gadis itu tengah mencari sesuatu di dalam laci.
“Alhamdulillah ketemu,” ujarnya tersenyum mengamati kotak P3K miliknya. Ia pun membawa kotak itu ke luar. Belum sampai dapur, ia sudah dikagetkan dengan suara Hana yang memanggilnya.

YOU ARE READING
GEANDRA [TERBIT]
Teen Fiction"Bukan santri teladan, tapi gue masih usaha biar jadi sebaik-baik pemuda akhir zaman." *** Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang Papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cint...