For You, Mom

94 9 0
                                    

Hangatnya matahari kini perlahan menghilang karena ia mulai menenggelamkan dirinya di ufuk barat sana.

Dengan gontai, Julian berjalan menahan segala rasa sakit di lengannya yang terluka parah. Pekerjaan ini bukanlah mudah, memasuki area yang gelap dan penuh dengan aura kelam.

Membasmi segala monster dan arwah jahat di dalamnya. Hanya fisiknya dan instingnya yang kuat yang menjadi andalannya saat bertarung. Ia tahu, hanya dialah satu-satunya petarung tanpa mana ataupun sihir dalam "Dungeon of Darkness" yang kini terus melebar, monsternya yang seringkali menembus ke dunia manusia. Tak jarang ia pulang dengan banyak luka dan memar di tubuhnya setelah bertarung.

Ia berhenti sejenak lalu tersenyum tipis melihat kotak kecil di tangannya. Sebuah hadiah yang tak mudah didapatkan, teruntuk orang yang sangat disayanginya.

Ia memasukkan kotak kecil itu ke dalam tas pinggangnya lalu lanjut berjalan dengan perlahan sampai ke depan rumahnya.

"Aku pulang." Ia membuka pintu rumahnya, disambut oleh keheningan sejenak dan pandangannya menangkap sosok wanita paruh baya yang tengah tertidur di sebuah kursi goyang.

Senyum tipisnya terulas sambil menutup pintu dengan perlahan. Beranjak untuk membersihkan luka di lengannya yang cukup perih.

"Siapa?"

Belum jauh ia melangkah, wanita paruh baya itu tiba-tiba angkat bicara.

"Julian ... Smith," jawab Julian.

"Oh kau yang menghuni lantai 2 ya? Baiklah."

"Maaf mengganggu, aku harus ke dalam untuk--"

"Kau terluka." Wanita berambut merah itu mendekatinya lalu mengajaknya duduk di sofa yang ada. "Aku selalu melihatmu pulang dalam keadaan terluka, apakah kau sering diserang oleh preman di jalan? Apakah pekerjaanmu itu berkelahi?" tanyanya sambil menempelkan kapas yang mengandung cairan antiseptik untuk membersihkan luka-luka itu.

Belum ada jawaban dari pertanyaan itu. Ia hanya tersenyum tipis menikmati sensasi rasanya diobati oleh sang ibu, yang mungkin kini lupa dengannya.

"Tidak ada pekerjaan yang lebih baik dari ini, Bu," jawabnya.

"Kau bisa ambil pekerjaan di Restoran atau semacamnya, mungkin itu cukup untukmu," ujar sang Ibu.

"Tapi itu tidak cukup untuk kita berdua," ucap Julian. "Oh ya. Sebagai hadiah karena sudah mengobatiku aku punya sesuatu untuk ibu." Ia mengeluarkan kotak kecil itu dari tas pinggangnya. "Selamat hari ibu." Ia tersenyum, berusaha setulus mungkin agar kesedihan dalam hatinya tak terlihat.

Sebuah bros dengan kristal biru yang besar, berkilau di bawah remangnya lampu di ruangan ini.

Pelupuk mata wanita ini berkaca-kaca, melihat indahnya kristal itu dan tulusnya Julian memberikannya. Tangannya yang mulai keriput itu menyentuh wajah mulus sang anak di depannya dan tersenyum.

"Terima kasih. Kau sangat baik, jadilah anakku nak." Jari-jarinya menyisir helaian rambut merah Julian yang sama dengannya. "Dia tak pernah pulang menjengukku," lanjutnya.

"Dia selalu pulang, ibu, tapi ibu jarang menyadarinya." Julian menggenggam tangan itu, sangat berusaha kerasa menahan pedih luka dari dalam dan luarnya.

Demensia.

Ia benci penyakit itu.

Ia benci melihat sang ibu melupakan segala kenangan manisnya keluarga ini.

Melupakan anaknya sendiri, melupakan aktivitas yang biasa ia berikan kepadanya, ia hanya mengingat soal sang kepala keluarga yang kini belum ditemukan sejak hilang di Dungeon sepuluh tahun yang lalu, yang memperparah gejala yang sudah terlihat sejak usianya 40 tahun.

Kini hanya Julian yang berjuang seorang diri. Mengambil pekerjaan dengan penuh resiko, mencari ayahnya yang belum kembali sekaligus menopang kebutuhan hidup, memanggil dokter terbaik untuk terapi dan menyewa perawat (selama ia bekerja) untuk sang ibu yang belum menunjukkan perkembangan yang signifikan soal ingatannya.

Pada akhirnya ia tak mampu menahan air di pelupuk matanya, air mata itu pun mulai mengalir di pipinya dengan isakan kecil.

Satu pelukan melingkari tubuhnya, setelah sekian lama akhirnya ia merasakan kembali pelukan yang hangat ini.

"Kau merindukan ibumu ya? Aku bisa menggantikannya sementara nak," ucapnya mengelus punggung sang anak.

Julian tersenyum, setidaknya sang ibu tidak lagi menolaknya apalagi sampai mengusirnya karena penyakit menyebalkan itu membuatnya tidak dikenali.

Kini tempatnya pulang kembali hangat. Ia merasa perjuangannya selama sepuluh tahun ini tidak sia-sia dan akan terus berjuang menghidupi keluarga kecil ini. Untuk pengobatan ibunya, untuk mencari ayahnya yang kini masih belum kembali. Ia akan terus mencoba menyatukan keluarga ini dengan seluruh napasnya.

Ia melihat sang ibu memasang bros itu di bajunya lalu tepuk tangan dengan wajah sumringah. "Sangat cocok, sama seperti warna mata ibu."

"Karena kau sudah memberikan permata mahal ini apakah kau ingin mencoba sup labu buatanku?"

"Siapa yang tidak mau sup enak buatan ibu? Akan kubantu."

"Terima kasih, ibumu pasti bangga memiliki anak baik sepertimu." Ia menarik tangan Julian dan membawanya ke dapur.

Tangan keriputnya yang gemetar nyaris tak kuasa mendorong pisau itu untuk memotong labu. Pada akhirnya tangan sang anak membantunya menambahkan tenaga, agar labu berukuran sedang itu dapat terpotong dengan sempurna.

"Padahal aku masih punya tenaga dan lenganmu masih sakit." Wanita itu tersenyum melirik pria muda di sampingnya.

"Tidak apa-apa Bu."

"Bisakah kau mengambil bumbu di atas lemari itu? Aku tidak bisa menjangkaunya," pintanya.

Julian langsung membuka lemari bumbu yang cukup tinggi, kotak bumbu itu hampir kotor karena debu-debu halus mulai menutupi kotak bumbu itu. Ia membersihkan debu-debu itu lalu mememastikan isinya tidak kadaluarsa dan masih layak untuk dipakai. Saat ia merogoh lebih jauh dalam lemari itu, ia menemukan sebuah bingkai yang usang dan penuh debu.

Ia mengambil tisu dan membasahinya sedikit dengan air sehingga foto di dalamnya terlihat jelas hingga membuatnya tersenyum lagi, ia menaruh bingkai foto itu tepat di depan talenan yang digunakan ibunya untuk mengiris labu.

Gerakan mengirisnya terhenti, ia membiarkan sang ibu melihat foto keluarga itu. Sosok gagah sang Ayah menggendong Julian yang masih berusia sepuluh tahun, di sebelahnya tentu ada sang ibu yang tersenyum di depan kamera.

Sang ibu mengambil bingkainya, melihat sosok suaminya yang sangat ia rindukan, menyentuh kaca bingkai itu hingga tangannya gemetar.

"Aku menemukannya di atas sana," ucap Julian.

Sang Ibu langsung melirik Julian, setelah melihat sosok anak pada foto itu. "Kau ... mirip dengannya." Tangannya menyentuh pipi Julian yang masih terdapat luka memar.

Julian tersenyum. "Anak di dalam foto itu ... adalah aku, Ibu." Ia menyentuh tangan ibunya dengan lembut, lalu kembali merasakan dekapan dari tangan hangat ibunya.

"Ibu kira kau tidak pernah pulang menemui Ibu." Ia terisak.

"Aku selalu pulang, ibu. Rumah ini adalah rumahku, ibu adalah tempatku pulang setelah lelah bekerja, tidak ada lagi tempat yang hangat selain rumah ini dan kembali ke sisi ibu. Aku akan sangat senang jika ibu bisa mengingatku kembali, ibu harus tetap menjalani terapi dari Dokter Faramis dan menuruti Nona Floryn yang merawat ibu jika aku belum pulang. Aku berjanji akan mencari Ayah di dalam tempat itu sampai aku menemukannya."

Ia cukup bersyukur bisa pulang tepat pada hari ini. Hari di mana ia seharusnya berada di sisi sang ibu yang mungkin takkan ingat dengannya.

ONESHOTS OF MLBBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang