[☕]━enamcangkir

122 20 0
                                    

-Cr: soy (twt)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Cr: soy (twt)

[☕]

Seperti anak kecil yang sudah di janjikan permen pada ibunya seperti itulah Satoru menerima kopi manis yang ia suruh Yuuta beli. Dia seruput dengan kebahagian meluap membawa terbang ke surga.

"Sensei, apa aku menjijikan?"

"Hah?"

"A- maksud ku," Yuuta panik, kesulitan mengatakan yang ada di pikiran. "Ada orang bilang benci sama ku..." Ini pertama kali Yuuta dibilang seperti itu jelas dia kepikiran terus.

"Apa yang kau lakukan padanya?"

"Tidak ada, aku hanya menolongnya."

"Berarti dia tsundere!" Simpul Satoru setelah diam menyeruput glukosa. Yuuta tak paham maksudnya, ia tatap sang guru meminta penjelasan lanjut. "Dia sebenarnya suka tapi gak mau ngaku, semacam itu lah."

'Suka kah...'

[☕]

Rasa manis tersisa di lidah ku.

"Ngapain balik kemari lagi?" Aku menatapnya jenggkel sama seperti suara ku.

Sore tadi, aku menyuruh Yuuta pulang. Yah, lebih tepat memaksanya karna Yuuta kukuh sekali tak mau pulang akan cemas meninggalkan aku sendirian.

Wah... Ternyata dia bisa kepala batu juga.

Aku melakukannya karna merasa canggung berada satu ruangan dengan Yuuta setelah kejadian hampir menciumnya isi kepala ku berisik, jantung ku berdetak tak karuan seperti ketakutan tapi bukan. Yah, semacamnya.

Sebelum pintu melahap Yuuta, pria itu memberi ekspresi khawatir, cemas, peduli, segalanya!

Aku tak paham dengannya yang masih bisa khawatir pada ku padahal tadi aku mau menciumnya. Apa dia tak takut di terkam atau, kecemasannya benar-benar tulus.

"....."

Apa aku terlalu was-was padanya? Maksud ku, jika benar Yuuta orang baik benar-benar orang baik artinya perhatian yang dia berikan benar-benar tulus kan.

"...."

Aku melangkah pergi kembali ke kamar. Duduk bersandar pada kepala kasur, selimut menutupi hingga perut.

Detik jam mengisi kesunyian ruangan. Aku merasa sudah lewat puluhan jam tapi kenapa malam lama sekali datang. Aku buka ponsel tuk melihat jam, ternyata baru 15 menit lalu Yuuta pergi. Baru sebentar ternyata.

Aku mematikan layar ponsel, kembali lagi pada kesenyapan ruang ini. Ah, sungguh, aku menderita dengan kesendirian ini.

Oh! Apa ini yang disebut kesepian?

Yang benar saja! Yuuta baru 15 menit pergi kenapa aku sudah seperti kehilangan dia berabad-abad. Dan lagi! Aku juga termasuk orang yang suka kesendirian.

Ah, lidah ku terasa pahit...

Ini serasa minum kopi hitam tanpa gula, tidak, lebih buruk dari ini. Mungkin lumpur tidak cocok mendeskripsikannya. Teh hijau? Tidak, teh masih lebih baik. Bagaimana dengan pare? Kurang, karna ini sangat lah pahit.

Aku meremas selimut. Bagai ribuan tawon masuk ke dalam kepala ku, suaranya sungguh berisik. Sehabis makan manis tiba-tiba diberi makan makanan pahit mulut ku terasa seperti itu.

Pahit.

Aku ingin yang manis.

Aku butuh yang manis-manis.

Apa pun itu tak masalah. Aku ingin menghilangkan rasa pahit ini!

Yuuta!

Pupil mata ku menajam seperti jarum. Aku terdiam. Melupakan rasa pahit. Pikiran ku yang berisik mendadak setenang permukaan air.

Kenapa namanya terlintas di benak ku? Kenapa Yuuta? Kenapa bukan Mars atau Haru!?

Kenapa?

Kalau dipikir ulang selama ini aku merasa pahit, aku terbiasa dengan pahit. Kenapa aku malah menderita dan mencari cara menghilangkannya. Padahal selama ini tak bisa di hilangkan, dan ku biarkan hingga mati rasa.

Ini aneh.

Sejak aku mengenal Yuuta, berada di dekat Yuuta. Aku jarang merasakan pahit, malahan rasa manis meledak-ledak di mulut ku. Hanya saat bersama Yuuta rasa pahit ku hilang.

Bel apartemen bergema ke dalam. "[Name]-san! Ini aku, bisa bukakan pintunya?" Ah, itu suara Yuuta!

Aku melompat dari kasur, bergegas membuka pintu. Benar Yuuta yang datang! Dia pulang hanya untuk mandi, ganti baju, dan bergegas kemari.

Ah, mulut ku terasa manis lagi.

"Ngapain kemari?"

"[Name]-san belum sembuh total biar aku rawat lagi aja."

Yuuta sungguh-sungguh mengkhawatirkan ku. Aku bukan pacar sungguhannya. Kenapa dia seperhatian ini? Aku bertemunya atas ketidak sengajaan. Aku mengajak pacaran karna tertarik semata habis itu buang, sama seperti pria lainnya.

"... Terserah kau."

[☕]

"Selamat pagi, [Name]-san."

"@$&#!"

Serius ini mengagetkan. Pagi ini Yuuta menyambut dari dapur dengan senyum hangat ia menyapa ku. Aku lupa jika Yuuta berada di rumah kedua ku. Karna biasanya bangun pagi sendirian disini melihat ada orang lain membuat ku jantungan.

"Maaf," Dia merasa bersalah membuat ku kaget. "Duduk lah sarapan akan selesai."

"Oh, iya." Aku duduk di kursi makan. Dari sini dapur bisa terlihat, dari sini punggung Yuuta terlihat.

Aku menangkup dagu memperhatikan punggungnya. Memandang dia yang menggunakan apron, membuatkan sarapan, dan aku menunggu selesai. Ini jadi terlihat seperti pasangan baru nikah.

Aku menghantam dahi ke permukaan meja, suaranya cukup keras.

Apa yang ku pikirkan bisa bisanya aku berpikir seperti itu!!!

Yuuta berlari tergesa-gesa ke tempat [Name]. "Kau baik saja? Ah, dahi mu merah." Wajahnya menggambar kesedihan.

"Aku gpp. Maaf."

Ini salah pemikiran tadi!

Selama larut dalam pikiran. Yuuta selesai menyiapkan sarapan, dia sajikan di meja makan. Itu masakan rumah biasanya; semangkuk nasi, miso soup, ikan, dan sayur tumis. Gila, aku bisa merasakan ketulan dari makanan ini.

"Oh sebentar," Yuuta menyingkirkan poni yang menutup dahi ku, dia tempel lama dahinya ke dahi ku sepertinya mengukur suhu tubuhku. "Kau sudah sembuh." Dia pergi ke kursi seberang.

"Mari makan." Lanjutnya.

"Mn, ya." Aku diam menatap lauk pauk. "Apa ada yang kau inginkan? Kau sudah merawat ku, aku harus membalasnya."

Yuuta menelan makanannya. "Tidak ada."

"Kau yakin? Aku bisa mengabulkan apa pun."

Aku akan sedikit bangga dengan ini.

Navy-nya memandang ku teduh seakan berteduh di bawah pohon besar. Aku jadi ingin tau keinginan Yuuta seperti apa. Apa itu sesuatu yang sangat sulit di dapatkan? Barang seperti apa yang membuat dia seperti ini.

"Aku ingin bersama [Name]-san."

[☕]

O. Yuuta  ❛KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang