TE | Chapter 8

369 23 0
                                    

"Udah sana, ngapain lo masih di sini!"

Sewot Disa menatap tajam pada cowok yang ada di samping brankar tempatnya berbaring. Alih-alih pergi, Renzo malah bergeming meletakkan punggung tangannya didahi Disa.

"Ngapain pegang-pegang Woee!"

Disa menyingkirkan punggung tangan Renzo dari keningnya. Ia menyipitkan matanya saat Renzo mulai melangkah menjauhi brankar. 1 menit setelahnya Renzo kembali mendekati brankar dengan wadah dan sebuh kain yang berada ditangannya.

"Mau ngapain lo?" tanya Disa bingung.

Renzo tak menjawab. Cowok itu meletakkan wadah yang berisi air dingin di meja samping brankar. Lalu, Renzo mencelupkan kain yang dipegangnya kedalam air tersebut. Perlakuan Renzo tak lepas dari pengawasan Disa.

Renzo meletakkan kain yang sudah dia celupkan pada air dingin itu di atas kening Disa. Disa memandang Renzo aneh.

"Kayaknya lo yang demam, deh."

Renzo menjawabnya dengan gidikan bahu. Disa menghela napasnya sejenak. "Mata Lo ngingetin gue sama seseorang." Disa memandangi netra kebiruan Renzo. Perkataan Disa mendapati angkatan satu alis dari Renzo.

"Thanks."

Lalu setelah mengucapkan satu kata itu, Disa mulai memejamkan matanya karna sudah tak kuat dengan rasa pening yang mulai menjalar di kepalanya.

Renzo mendudukkan dirinya pada sebuah kursi yang terdapat di pinggir brankar. Dia pandang wajah tenang Disa yang tertidur lelap.

"Sorry, Disa."

***

Jam istirahat tiba, Aza memanfaatkan sisa-sisa luangnya di perpustakaan seperti biasanya. kali ini, saat bell sudah berbunyi dan guru keluar kelas, Aza dengan cepat bergegas ke ruang perpustakaan. Sejak kejadian kemarin saat identitasnya sebagai adik Erlangga tersebar, para murid seringkali merudungnya dengan berbagai macam pertanyaan. Oleh karna itu, Aza ingin melarikan diri dengan bersembunyi di perpustakaan.

"Hai, Za!"

Seorang cowok mendekati Aza yang duduk sendirian di bangku pojok perpustakaan. Aza menurunkan buku yang dia baca. Terlihat, wajah Arlo, cowok yang kemarin dihajar oleh Abangnya tertangkap diindra penglihatan Aza pertama kali. Aza hendak berdiri dan ingin segera pergi, namun suara Arlo lebih dulu menyela.

"Tunggu dulu, boleh minta waktunya sebentar?"

Aza bergeming di tempat. "Sebentar aja, Za," kata Arlo lagi. Setelah menimang-nimangnya, Aza memilih untuk menyetujuinya. Gadis berumur 16 tahun itu kembali mendudukkan dirinya dengan tenang.

Arlo tersenyum senang. "Makasih Za, gue boleh duduk disini?" tanya Arlo menunjuk pada kursi yang ada di hadapan Aza. Aza menanggapinya dengan mengangguk singkat.

Arlo mendudukkan dirinya di kursi itu. Cowok dengan rambut pirang itu berdeham singkat sebelum memulai pembicaraan. "Gue ... Mau minta maaf," cicitnya menatap Aza dengan lekat.

Aza diam tanpa respons apapun. Cewek dengan rambut panjang yang indah bergelombang itu menunggu kelanjutan perkataan Arlo.

"Maafin gue sama temen gue yang udah sering bully lo, Za. Sebenernya gue ngelakuin itu karna dipaksa," ujar Arlo dengan air muka sedih.

"Dipaksa?"

Arlo menganggukkan kepalanya. "Gue dipaksa sama Rula buat bully lo. Kalo gue gak ngelakuin itu..." Arlo menggantung kalimatnya.

"Kenapa?"

"Kalo gue gak ngelakuin itu, Rula ngancem gue buat bunuh lo. Gue gak mau. Karna ... karna sebenernya gue suka sama lo dari awal kita ketemu." Arlo menatap lekat-lekat mata Aza.

Transmigrasi ErlanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang