24. Pelukan Erat

104 6 6
                                    

Pagi yang cerah itu pun dirusak oleh orang-orang yang mengaku kolega Arbie. Dia berjalan menuju restorannya, beberapa temannya masih duduk-duduk di depan restoran. Arbie pun berdiri di depan restorannya sambil berkacak pinggang.

"Kenapa kalian masih di sini?" tanyanya mencoba bersikap sopan.

"Sebenernya kami itu mau ajak kamu balik ke hotel, tapi sepertinya, kamu lebih bahagia bekerja di restoran kumuh ini. Bersama istrimu yang buruk rupa ah bukan, yang buruk tempramennya itu. Aku berharap kau bisa selamat dari amukannya, Bro."

Arbie mengepalkan tangannya, sampai buku-buku jari tangannya memutih. Rahangnya kaku, dadanya bergemuruh seakan ingin meledak seperti Aika. 

Arbie mendekati laki-laki itu dan mencengkeram kerah kemejanya. "Jaga mulutmu  kalau masih ingin menatap matahari esok."

"Cih, kalian berdua sama saja, pantas saja kau dikeluarkan bos dari hotel. Kau memang suka memakai power orang tua kan, ketimbang kemampuanmu sendiri. Dasar sampah!"

"Kau yang sampah!" 

Pertarungan itu hampir saja pecah, Guntur berlari ke arah Arbie mencoba melerai. Namun, sebuah tinju mampir di wajahnya. Dia terhuyung sambil memegangi pipinya. Arbie mendorong laki-laki di depannya dan membantu Guntur berdiri, "Pergiiii!" teriaknya.

"Pantas saja dokter cantik itu meninggalkan kamu."

Semua impiannya ada di hotel itu, kenangan masa keemasannya juga ada di sana. Arbie menoleh pada restoran kecilnya yang jauh dari kata sempurna. Dia mengalihkan pandangannya ke teman-temannya, "apa kau tidak lihat bangunan ini. Aku membangunnya bersama istriku, walau sekarang masih kumuh, aku akan tetap ada di sini, pergi kalian dari sini!"

"Cih! kau pikir restoranmu ini akan bertahan lama?" 

"Pergiii! Aku bilang pergi!!" Urat leher Arbie tercetak jelas di lehernya, wajahnya merah. Laki-laki itu pun akhirnya pergi sambil memaki. Guntur berdiri dan sibuk memaki laki-laki itu. 

"Memang axxxx mereka itu!"

Arbie hanya menoleh sekilas mendengar temannya ikut memaki. "Udahlah, Bro. Hari ini kita libur aja. Wajahmu nggak apa-apa, kan?"

"Gak bisa, kita udah mulai siap-siap. Bahan-bahan udah ready itu. Kami sengaja pagi-pagi udah mulai, biar bisa cepat buka. Tahu sendiri kalau ada Aika bakalan rame banget." Guntur memegangi wajahnya yang terasa panas. "Ah sial, wajahku sakit."

"Aika gak mood, lagi ngambek tu di rumah."

Guntur menoleh, "kau sudah menikah hampir dua tahun, masih belum tahu cara mendamaikan hati istrimu?" Guntur menggelengkan kepalanya dan berjalan ke arah restoran. 

"Gun, aku ini baru dua tahun kenal Aika, emang kamu pikir gampang membaca pasanganmu setelah tinggal satu kamar?" Arbie menghela napasnya sebelum melanjutkan ucapannya. "Udah libur aja, kau juga harus ke rumah sakit dengan wajah seperti itu."

"Aku ini laki-laki, kalau cuma begini, dikompres doang juga ilang, buat apa ke rumkit, cuma buat rumit aja." 

Arbie terheran-heran mendengar reaksi temannya itu. Dia menyerahkan sekantung es pada Guntur. 

"Bini lu, tu!" kata Guntur santai. 

Aika berlari mendekat, tergampar jelas kepanikan di wajahnya. Dia langsung memeluk Arbie erat. Tangannya langsung memeriksa wajah dan badan suaminya itu. Arbie tertawa kecil melihat kepanikan Aika. Dia memegangi kedua tangan istrinya yang tak menggunakan sendal dengan benar. Dia asal berlari sampai lupa memakai jilbabnya. 

Arbie menariknya ke ruangan di belakang meja kasir dan menutup pintu kamarnya cepat. 

"Mas nggak apa-apa?" tanyanya panik.

"Nggak, kok, Mas gak apa-apa."

"Aku denger keributan tadi di depan, aku denger suara teriakan Mas, apa mereka melakukan sesuatu?" Aika mulai mengoceh tentang kekhawatirannya. Arbie hanya mendengarkan sambi tersenyum menatap istrinya. 

"Kok, malah ketawa, sih?"

"Perhatiannya itu, ya Tuhan, bikin meleleh, padahal tadi dah kek preman pasar," ejeknya sambil tertawa. 

Aika memukul tangan Arbie kuat saking gemasnya. "Nyesel aku khawatirin, Mas. Udah, Aika mau balik lipet baju aja."

Aika berbalik, ingin keluar kamar. Arbie menariknya dan memeluknya erat. "Bentar, sini aku redain emosinya biar gak marah-marah terus. Mas minta maaf ya, udah bikin kamu marah, kesel, meledak, kek preman pasar."

Wanita cantik itu pun menangis tak karuan, Arbie tak melakukan apa-apa, dia memeluk Aika lebih erat. "Hidup denganku memang berat, aku bersyukur dua tahun yang sudah kita lalui ini, benar-benar berjalan dengan baik. Maaf ya, bikin kamu sedih terus," bisik Arbie pelan. "Aku hanya sedang kebingungan, mempertahankan kamu, atau restoran ini. Ayah bilang, jika aku bangkrut, aku harus melepaskanmu, Aika. Apa kau bisa tahu, apa sebenarnya yang Ayahku pikirkan?"

"Dasar bodoh!" desisnya pelan.

"Kau mengatai aku bodoh, Ka!"

"Masa begitu saja tidak tahu maksudnya," isak Aika pelan. Dia mengusap air matanya. "Aku akan temani, aku akan bantu, aku akan buat restoran ini menjadi restoran nomor satu. Kalau tidak bisa, kau bisa memecatku kapan saja," kata Aika mantap.

"Aku tak bisa memecatmu sayang, nanti aku siapa yang nenangin kalau kamu hilang?"

Ada debaran lembut di dada Aika yang membuatnya yakin, perkataan suaminya itu sebuah kebenaran, dia yakin itu tulus. "Aku tahu, menghadapi ibumu tidak mudah, bisa Mas bantu aku mendapatkan hatinya."

"Sudah kan?" Arbie mengelus perut istrinya itu lembut. "Mama ingin cucu, dan kita akan lahirkan cucu yang sehat dan kuat."

Keduanya makin mengeratkan pelukan, sebelum kembali bekerja dan melupakan kejadian tidak mengenakkan pagi ini. Mereka bersiap untuk menyambut pelanggan pertama. Namun, hingga jam makan siang sudah lewat, tidak ada satu pun orang yang datang. Aika membuka ponselnya untuk live. Namun, tidak ada yang ikut dalam livenya.

Arbie menghela napasnya yang berat. "Sudahlah, kita makan saja sendiri, kalian lapar kan?" katanya. Dia berdiri, dan berjalan ke dapur dengan gontai. Senyumnya kecut, dia tidak memiliki semangat sedikit pun. Walau ramai dan tidaknya sebuah restoran hal yang biasa terjadi kapan saja. Namun, hal ini terlalu tiba-tiba. Tidak pernah sampai tidak ada orang yang datang berkunjung sama sekali.

Semakin dekat dengan malam, tetap tak mengubah apa-apa. Tak ada satu pun pelanggan yang datang. Arbie masuk ke dapurnya dan mulai memasak untuk menghabiskan bahan makanan yang tidak mungkin di simpan.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Guntur keheranan.

"Aku tidak bisa membuangnya, aku akan mengirimnya ke suatu tempat yang paling membutuhkan," katanya datar.

"ke mana?" Aika berdiri di depan suaminya yang hanya diam dan memasak. Tangannya lincah menggoyang wajan besar itu dengan cepat. Garam dan lada dia masukkan dengan takaran yang pas, bau harum masakannya menembus dinginnya hujan. Seseorang datang dengan sebuah mobil. Dia turun dengan memakai payung berwarna merah.

"Bi, apa benar yang kau bilang di telepon tadi?" Ryu melipat payungnya. Dia membersihkan bekas air yang membasahi jaketnya. "Eh, Tupai ada di sini?"

"Apa yang ingin kau lakukan di sini, Bang?" tanya Aika heran.

"Arbie bilang, dia ingin mengirimkan makanannya untuk kami yang lagi berjaga. Mungkin kalau ada sisa kami akan bagikan ke keluarga pasien yang sedang berjaga."

Aika menoleh ke arah Arbie yang sedang bekerja keras membuat masakan di dapur. Dia meraih apron dan juga masker mika. Aika pun menghidupkan kompor di dekat suaminya. "Kita masak apa, chef?"

Arbie menarik senyumnya, "Apa restoranmu buka malam ini, Nona?"

Pengantin Cadangan 2Where stories live. Discover now