4. Terlanjur Sakit

30 4 0
                                    

Di sebuah meja makan, melingkarlah empat orang sambil menyantap makanan lezat yang terhidang. Tidak ada suara apa pun selain suara benturan sendok ketika beradu dalam piring. Kiera menatap wajah sang bunda yang tampak lelah, ia tahu kalau bundanya itu pulang larut tadi malam. 

"Selama Bunda kerja, gimana keadaan adik-adik kamu?" celutuk bunda sambil menuangkan air dari teko ke gelas.

Kiera tersedak nasi yang baru ia telan, cepat-cepat cewek itu mengambil air dan meneguknya cukup banyak.

"Baik,"

"Makan pelan-pelan, jam masih lama." Peringat sang bunda.

Kiera kembali menyantap sarapan yang ia buat sendiri tadi pagi. Bundanya memang bekerja di toko kue, baru pulang menjelang sore bahkan bisa sampai malam. Membuat rumah sepi dan hanya ditinggali Kiera juga kedua adiknya. Ayahnya sendiri tengah bekerja di kota seberang, baru akan pulang ketika hari tertentu saja.

Cewek itu sedikit heran, apa bunda tidak menanyakan keadaannya? Kenapa yang ditanya hanya kedua adiknya saja?

Ini serius Bunda nggak nanya gue?

Kata itu ia simpan dalam hati, enggan bersuara. Jam menunjukan pukul 06:30 tapi jemputannya belum juga datang. Siapa lagi kalau bukan Abel. Kiera harus
menunggu lama karena motornya masih berada di bengkel. Rusak lantaran sering Kiera pakai ugal-ugalan.

Untungnya Abel berada di komplek perumahan yang sama dengannya, cewek itu sangat baik, Kiera sangat bersyukur mempunyai sahabat sebaik Abel, ya walau Abel sedikit susah untuk diajak bicara karena otak cewek itu masih dipertanyakan berada di mana.

Abel
|ra, gw dah di depan|

Ponsel Kiera berbunyi satu notifikasi, segera ia menyambarnya dan melihat si pengirim. Rupayanya Abel. Gadis itu bangkit dan menyampirkan ransel ke punggung.

"Nda, Kiera berangkat ya?"

"Sama siapa?"

"Abel, tadi malem Kiera minta Abel buat jemput."

"Yaudah, hati-hati."

Usai berpamitan, Kiera ke luar dari rumah, melewati gang kecil untuk bisa sampai di depan. Tak sesepi yang ia bayangkan, pagi ini kendaraan lebih ramai di jalanan.

"Udah nunggu lama ya, Bel?"

"Ah nggak, baru juga semenit, nih pake helmnya." Abel menyodorkan helm warna hitam yang langsung diterima Kiera.

"Ngapain bawa dua helm?"

"Demi keselamatan bersama," jawab Abel sumringah. Kiera hanya terkekeh menanggapinya. Ia melirik Abel sekilas, cewek itu tampak mengucek beberapa kali matanya di balik kacamata.

"Mata lo kenapa?"

"Makin lama mata gue makin burem, kayaknya udah harus ganti kacamata."

"Lo sih kebanyakan main hape, udah gitu suka banget begadang baca buku."

"Ih, nggak ya, tadi malem gue nggak baca buku orang gue nggak jadi pinjem."

"Yaudah, sini biar gue aja yang nyetir." Abel tersenyum mendengar perkataan Kiera, ia lalu turun dan membiarkan Kiera yang menyetir.

Tak butuh waktu lama untuk keduanya tiba di sekolah, sekitar sepuluh menit mereka sudah disambut wajah-wajah lesu para murid serta wajah garang satpam di depan gerbang dengan tongkat yang dibawanya.

"Ayo, ayo ... dorong!"

Kiera dan Abel turun dari motor, lekas mendorong sampai tiba di tempat parkir. Rutinitas mereka memang selalu begitu setiap hari, saat sampai gerbang seluruh murid wajib mematikan mesin motornya agar tidak berisik dan menganggu guru-guru. Hal itu pula menjadikan bahan bakar jauh lebih hemat, ya walau tenaga yang terkuras karena jarak parkiran yang cukup jauh. Untungnya dekat dengan kantin jadi bisa santai-santai dulu.

Ineffable |End|Where stories live. Discover now