21. Awal kebebasan

21 4 1
                                    

"Mau jadi preman kamu, hah!" berang Luniya. Sebagai seorang ibu, pasti akan marah kalau tahu anaknya berkelahi dan membuat keributan.

"Kalau bisa. Jadi preman kan bebas." Santai sekali Genta menjawab, dia bahkan berani menunjukkan gaya tubuhnya yang seperti malas-malasan menghadapi orang tuanya.

Plak

Genta mengusap pipinya setelah ditampar, tidak menangis ataupun kesakitan. Dia hanya terkekeh saja.

"Udahlah, kalian kalau mau buat aturan bikin sekolah aja sana," suruh Genta.

"GENTA! APA-APAAN KAMU!" Ayahnya membentak.

"Kenapa? Genta cuman mengusulkan aja. Oh iya, tadi Genta udah resmi berhenti di tempat les piano sama yang lainnya. Kecuali, les matematika. Jadi kalian tenang aja, nilai akademik Genta di sekolah gak akan hancur," katanya, seperti mengobrol dengan orang yang sama santainya dengan dia.

"Kalau kamu–"

"Ayah sama mamah kalau gak mau ngurus aku gak papa," sela Genta.

Keberaniannya harus seperti ini terus, Genta sudah bertekad untuk tidak dijadikan robot penuh aturan lagi sama mereka. Jam pengingat aktivitasnya juga sudah di rusak, sehancur-hancurnya karena terlindas mobil truk.

"Okeh, kalau gitu kamu juga gak dapat uang dari ayah!" ancaman Ayahnya benar-benar klasik, Genta sudah tahu ini pasti akan terucap.

"Baik, gak masalah. Aku juga udah punya usaha sendiri, lagi pula ayah sama mamah gak ingat. Kalau seluruh aset di rumah ini, sama perusahaan kalian atas nama Genta yang ditulis sama kakek?"

Buumm ...!

Orang tuanya speechless, ekspresi sudah tak terlihat santai lagi.

"Aku bakalan bangun usaha sama Gema," ujar Genta. Berlalu begitu saja dari mereka yang masih diam.

Mungkin seharusnya dia seperti ini dari dulu. Namanya juga masih anak-anak, Genta menurut saja, tanpa tahu dia lebih punya kuasa di sini. Meskipun tak seharusnya Genta berbicara tentang aset, tapi hanya itulah senjata Genta agar orang tuanya tidak mengekang lagi.

[•••••]

"Terserah lah, mah. Mamah mau pergi ke mana pun juga aku gak peduli. Papah mau ke keluarga papah yang baru juga aku gak peduli!" muak Gema.

"Ngelawan kamu Genta! seharusnya kamu gak boleh bicara seperti itu. Contoh Genta–"

"Genta? dia juga udah gak peduli sama orang tuanya. Asal mamah sama papah tau, Gema mau buat usaha sama Genta. Jadi, apapun nilai akademik Gema di sekolah gak akan ngaruh sama apapun!" Perlawanan mendadak ini bikin orang tuanya terkejut.

"Buat usaha, buat usaha? kamu pikir merintis itu gampang, hah!" sentak papahnya.

"Umur kamu sekarang ini lebih baik fokus sekolah! kamu gak mau kuliah di luar negeri dengan nilai tertinggi!" Mamahnya menyembur setelah papahnya.

"Iya, Gema bakalan fokus kok sama sekolah. Tapi Gema gak akan fokus sama nilai seratus yang harus Gema dapetin setiap pelajaran sekolah!"

Kepala Gema hampir meledak, di satu waktu dia harus menguasai semua pelajaran sekolah. Dituntut untuk mengikuti perlombaan dulu yang berujung kalah dan kena pukulan dari orang tuanya.

Gema punya sisi kurangnya juga, dia tak selalu bisa hanya dengan satu jentik jari yang orang tuanya minta.

"Terserah, sekarang fokus aja sama urusan mamah sama papah masing-masing. Kalau mau ribut, marah, jangan lampiaskan sama Gema. Mendingan cari masing-masing pasangan lagi, kalau hubungan keluarga ini gak cocok sama kalian!" Untuk seumuran Gema, dia benar-benar berani mengatakan itu. Anak broken home sudah bertindak agar batinnya tak selalu tersiksa. Lebih baik hidup sendiri, dari pada menderita dengan siksaan mereka.

SISKAMLINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang