13. Genggaman Tangan Abel

17 5 0
                                    

Abel pikir ia sudah sangat keterlaluan terhadap Chiko. Perkara Chiko mengutarakan isi hatinya yang bilang kalau Pak Raditya ada kaitannya dengan pembunuhnya. Ia juga tidak tahu mengapa Chiko bisa berasumsi begitu, tapi Abel merasa kalau ia harus segera meminta maaf, sejak kemarin Chiko tak muncul atau bicara padanya.

Tadi pagi saja ia tak sempat sarapan, bukan tak sempat sebetulnya. Ini lebih ke sengaja tak sarapan. Moodnya hilang untuk sekedar menatap hidangan yang dibuat sang ibu.

Apalagi hari ini ulangan matematika, animasi sekaligus komputer. Mapel yang tampak sama semua, bikin pusing. Abel tidak habis pikir dengan jadwal PTS, kalau sudah begini ia jadi pasrah mengenai nilai. Gadis itu berjalan loyo di sepanjang koridor, bahkan langkahnya tertinggal cukup jauh dari Kiera, Missa dan Deeva yang asik sendiri.

"Eh Dev, gue jadi penasaran sama kencan pertama lo tadi malem, gimana itu?" Missa menyenggol lengan Deeva seperti mengejeknya. Deeva tersenyum malu sekaligus sedikit merasa ambigu mendengarnya. Ia tidak mungkin melupakan moment kala Renzi mencium dahinya itu.

"Apaan sih, bukan kencan kali. Gue cuma liat pameran lukis," katanya dengan nada rendah–terkesan tak benar-benar mau membahasnya.

"Tapi kalo kencan napa muka dari tadi keliatan kusut gitu, kayak baju nggak pernah disetrika."

"Ya soalnya ini ujian, gue belum belajar banyak, gitu." Dalihnya.

"Kok gue ragu ya?"

Kiera yang awalnya tak peduli baru menyadari Abel tertinggal cukup jauh, gadis itu sama sekali tak mau mensejajarkan kaki dengan yang lain. Kiera menoleh ke belakang, berbalik dan menghampiri Abel.

"Napa lo Bel, lesu amat?"

"Nggak papa kok," jawab Abel datar, jujur ia tidak berniat mencuekan siapa-siapa.

Deeva pun menoleh ke belakang, menyadari Abel yang berjalan lesu, ia lantas ikut menghampiri bersama Missa.

"Eh iya Bel, tadi malem kan gue pergi ke pameran, gue liat Aksa tau."

Sontak Abel mendongak. "Serius? Dia lagi apa?"

"Liat pameran juga, bedanya dia sama anak perempuan gitu, cantik banget."

"Aksa punya adek?" tanya Missa mengedar mencari penjelasan.

"Nggak ih, dia kan anak tunggal." Jawab Kiera sambil bersedekap. "Nggak tau juga sih, hehe."

"Cieh, si Abel langsung semangat pas denger kata Aksa." Missa meledek, cewek itu memang hobi mengejek kedekatan seseorang dengan lawan jenis terkhusus para sahabat-sahabatnya.

"Kalo iya kenapa?" Abel melotot dengan tangan berkacak pinggang, Deeva pun tertawa.

"Udah, ayo buruan! Meski dateng pagi harus tetep gercep biar nggak kena omel!" Kiera menyeret tangan Abel agar berjalan sedikit lebih cepat. Melewati Missa dan Deeva yang melongo heran.

Mereka semua memutuskan untuk berangkat lebih awal karena insiden Bu Ani kemarin. Ditambah hari ini Bu Irene menjadi pengawas.

Melihat kedua sahabatnya berlari tergesa-gesa ke lab, Missa dan Deeva lantas ikut berlari. Koridor di sekolah memang tak jauh dari gerbang, siapa saja dapat melihat langsung ke luar gerbang sana.

"Bel bel!"

Abel menolehkan kepala ke kanan-kiri, ia tidak salah dengar kan? Ada yang memanggil namanya tadi.

"Napa Bel?" Kiera bertanya kala melihat gelagat bingung sahabatnya itu.

"Kayak ada yang manggil nama gue, lo denger nggak?"

"Ah nggak, perasaan lo kali."

Abel menatap fokus area sekolah, pandangannya terpaku pada sosok cowok yang memakai jaket dan helm hitam sedang berdiri di luar gerbang tengah mengintip. Ia melambaikan tangan kala Abel menatapnya.

Ineffable |End|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang