Bab 18. Secuil Perhatian

1.5K 210 61
                                    

                Pak Rafiq, Pak Rafiq, dan Pak Rafiq.

Sudah tiga hari ini, otakku terus dipenuhi oleh bayang-bayang Pak Rafiq. Aku sampai berkali-kali 'menampar' diri agar cepat sadar kalau apa yang kurasakan saat ini salah. Kalaupun tidak salah, tak seharusnya.

Aku tidak boleh menyukai dosenku sendiri!

Ada banyak alasan yang membuatku merasa kalau perasaan ini harus segera kusingkirkan. Pertama, hubungan kami saat ini hanya sebatas hubungan akademik. Kedua, jarak umur kami yang terpaut cukup jauh. Ketiga, besar kemungkinan Ayah dan Bunda tidak merestui. Keempat, besar kemungkinan juga, Pak Rafiq tidak balik menyukaiku. Aku harus ingat betul kalau selama ini dia hanya memanfaatkanku demi kepentingannya.

Ya. Otakku harus tetap rasional. Aku tidak boleh membiarkan perasaan ini terus tumbuh.

"Ya ampun!!!" kakiku mulai menendang-nendang ke udara. Harusnya hari ini aku bimbingan, tetapi demi menghindari Pak Rafiq, aku beralibi sakit.

Aku belum yakin dengan perasaanku saat ini. Apakah sekedar suka, kagum, atau bahkan sudah cinta. Yang terkahir sepertinya terlalu jauh. Namun yang pasti, sejak hari sabtu kemarin, tepatnya setelah dia mengantarkanku pulang dari rumah Mbak Iva, aku mulai sering memikirkannya.

Oh, ayolah! Aku harus kembali waras! Aku tidak boleh termakan aktingnya yang hebat itu!

"Aniiin!" terdengar teriakan Bunda dari bawah.

"Iya, Bund?"

"Kamu kok enggak turun-turun? Apa enggak kuliah?"

"Kuliah rabu pagi udah diganti senin, Bun."

"Oh ... ya udah."

Memang, kuliah rabu pagi sudah ganti jadwal atas permintaan dari dosen yang bersangkutan. Kebetulan mata kuliah tersebut adalah mata kuliah pilihan analisis, jadi yang ikut kelas hanya segelintir. Penyesuaian jadwal baru otomatis bisa lebih mudah. Bisa disimpulkan, hari rabu aku ke kampus hanya untuk bimbingan. Tidak ada keperluan lain lagi. Kuliahku hanya hari senin dan selasa.

"Aniiin!" Bunda memanggilku lagi. Kali ini aku melompat dari ranjang dan keluar.

"Apa lagi, sih, Bund?"

"Hari rabu kamu ada bimbingan skripsi, kan? Ada bikin donat lagi atau enggak?"

"Enggak."

"Enggak yang mana ini? Enggak bimbingan apa enggak bikin donat kentang?"

"Dua-duanya."

"Wah! Bunda kecewa."

Aku menatap Bunda bingung. "Kenapa tiba-tiba kecewa?"

"Gara-gara minggu lalu kamu bikin donat kentang enak banget, Bunda sama Ayah jadi pengen dibuatin lagi. Nagih ternyata."

"Yeee! Ke mana aja Bunda selama ini?"

"Mbok ya bikin, Nin. Ya?"

"Lagi males, Bun. Bunda bikin sendiri aja."

"Minta dibikinin kok malah disuruh bikin sendiri"

"Maaf, Bun, lagi enggak mood. Nanti hasilnya malah enggak enak." Aku jujur tentang ini. Aku sedang tidak mood mengerjakan apa pun.

"Ya udah. Lha kamu enggak bimbingan kenapa?" tanya Bunda lagi.

"Agak enggak sehat."

"Sakit?"

"Dikit."

"Udah bilang dosenmu itu?"

Aku mengangguk. "Udah."

"Ya sini turun, sarapan dulu. Ayahmu tadi nanyain. Tumben kamu enggak turun-turun."

Inevitable Feelings Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang