TE | Chapter 51

225 13 2
                                    

Suara monitor terdengar memasuki gendang telinga remaja itu. Harum bau obat-obatan menyengat. Kepalanya berdenyut sakit. Tubuhnya seolah-olah mati rasa.

Kedua kelopak mata itu bergerak, hendak akan terbuka. Sedikit memejam saat mau terbuka, menyesuaikan cahaya silau yang mengenai retinanya.

Putih

Warna itu yang pertama kali terlihat oleh kedua booa matanya. Keningnya mengernyit bingung. Helaan napas panjangnya terdengar. Satu tangannya naik, menyentuh pelipis kepala yang terasa sakit.

Keningnya kembali mngernyit bingung, kala mendapati sebuah selang infus yang berada ditangannya. Saat ia sentuh kepalanya, terdapat sebuah perban. Lagi dan lagi, remaja itu mengernyit bingung.

Ia gulirkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan.

Rumah sakit.

Remaja itu yakin, ia berada di rumah sakit. Yang menjadi kebingungannya ialah, kenapa ia ada di rumah sakit?

"Mahal banget cuy."

"Iya woi, enakan juga sempolnya mang asep, murah juga,"

"Yaudah sono lo beli punyanya mang Asep,"

"Ogah, jauh!"

Suara itu dapat terdengar di gendang telinga remaja itu. Tubuhnya mendadak terdiam kaku, napasnya tercekat. Sekejap ia berusaha menghilangkan pemikiran anehnya.

"Angga!"

Kedua bola mata itu saling bersitatap. Seorang gadis dengan rambut panjangnya berdiri di ambang pintu. Dengan kedua bola mata yang terlihat berkaca-kaca dan tidak percaya. Tubuh gadis itu terlihat mematung, dikarenakan melihat seorang remaja yang sudah lama terlelap dalam tidur panjangnya akhirnya terbangun juga.

"Kenapa, La?!"

Pekikan yang terdengar panik itu, membuat seorang gadis yang dipanggil dengan sebutan 'La' menunjukkan satu tangannya ke arah remaja yang sudah membuka matanya itu.

Sama reaksinya dengan Lala, gadis yang berujar panik tadi ikut terdiam kaku, dengan kedua bola mata yang mulai berkaca-kaca dan satu tangan yang menutupi mulutnya tak percaya.

"Weh Angga!"

"Yo ... Wassap men!"

Kekehan renyah lolos dari bibir pucat remaja tadi. Remaja itu tak lain adalah Erlangga. Kedua bola mata Erlangga kembali terpejam. Sudut bibirnya terangkat tersenyum simpul.

Udah balik lagi, ya?

(Dengan begini, kita kembali sebut Erlangga dengan nama aslinya, Angga)

"Eh gue mau marah sama lo!"

Kedua bola mata Angga kembali terbuka. Ia menatap kedua temannya yang duduk di kedua sisi brankar tempatnya berbaring. Satu alis Angga terangkat mematap Ham—cowok dengan perut sedikit buncit—yang mukanya mirip sekali dengan Zero.

"Gajelas lo, Ham. Angga tuh baru bangun dari koma, jangan langsung dimarahin, lah."

Itu adalah suara Alan, cowok dengan tubuh kurus kering yang wajahnya mirip dengan Renzo. Satu kata yang keluar dari mulut Alan, mampu membuat Erlangga mengalihkan atensinya.

"Tadi lo bilanag apa?" tanya Angga dengan suara yang terdengar lemah. Padahal tadi Angga merasa suaranya biasa saja.

Aneh sekali, padahal tadi ia tertidur dikamar Erlangga, dengan keadaan sehat wal afiat. Namun saat kembali membuka pejaman matanya, ia sudah berada di dunianya. Dan dengan kondisi tubuh yang lemah dan kepala yang terus berdengung sakit.

Transmigrasi ErlanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang