Menyesal?

26 5 0
                                        

Wardana's House

Rangga POV

"Dimana Gwen?"

"Nyonya muda sudah pergi kuliah, Tuan muda." ia menundukkan kepalanya dalam-dalam tidak berani menatapku sedikitpun.

Aku diam sejenak, lalu memilih pergi menuju garasi, masuk ke dalam mobil dan duduk diam di dalamnya.

Aku tidak bisa tidur sama sekali. Setiap kali memejamkan mata, wajah Gwen yang menangis membayangiku. Membuatku gelisah tanpa tahu penyebabnya. Rasa bersalah tiba-tiba menyusup, membuat dadaku terasa sesak.

Apakah aku sudah sangat keterlaluan kepada Gwen selama ini?

Aku menyakiti wanita itu tanpa sebab. Hanya karena marah wanita itu menyetujui pernikahan ini, Aku melampiaskan semua marah itu kepada Gwen. Mungkin saja Satya benar, mungkin saja Gwen tidak punya pilihan lain selain mengikuti perintah ibunya sama dengan aku yang mengikuti kata hatiku untuk menyelamatkan nama baik keluarga Wardana.

Apakah memang Gwen yang pantas di salahkan karena semua ini?

Bukan salah Gwen, Jhonny yang kabur.

Bukan salah Gwen jika ia tidak punya pilihan selain mematuhi perintah ibunya.

Aku selalu bersikap layaknya ia seorang korban. Tapi apa benar aku adalah korban yang sesungguhnya?

Aku menghembuskan napas. Apa aku harus meminta maaf kepada Gwen hari ini?

Aku masih bingung dan memilih menjalankan kendaraannya menuju kampus. Perasaan bingung itu membuatku tidak mampu berpikir semalaman. Rasa bersalah menggerogotiku seperti lintah, mengisap semua energi dan tidak menyisakan apapun.

"Ada apa dengan wajahmu?" suara Satya yang menyebalkan membuatku ingin menyumpah dengan kata-kata kotor.

"Sedang apa kau di sini, sana masuk kelas, anak teladan sepertimu tidak cocok berada di ruang melukis seperti ini."

"Menunggumu." Satya menatapku lekat-lekat. "Kamu tidak masuk kelas lagi?"

"Apa pedulimu?"

"Heh, bodoh!" Satya memukul kepalaku kuat-kuat. "Meski aku membencimu saat ini, kamu itu tetap saudaraku. Tentu saja aku mencemaskan wajah pucatmu itu."

"Aku bekerja semalaman." Dustaku sambil menata kanvas dan kuas. "Ada perlu apa menungguku?"

"Aku ingin meminta pendapatmu tentang ini." Satya menyerahkan map kepadaku.

"Om Sultan mengusulkan agar kita menambah cabang perusahaan hanya untuk kita bertiga di Bali, disana kau bisa bebas berkarya sekaligus membuka pameran mungkin."

"Akan kupikirkan nanti." ujarku setelah membaca berkas itu sekilas.

"Jadi..." Satya duduk di depanku. "Apa kabar Gwen?"

Mendengar nama Gwen, seperti ada sebuah belati yang di lemparkan ke dadaku. "Tanya saja sendiri padanya." ujarku berpura-pura terlihat santai.

"Aku tidak punya nomornya." Desah Satya. "Jadi berapa nomornya? berikan padaku." Satya mengeluarkan ponselnya.

Aku refleks mengeluarkan ponsel dari sakunya. Tapi kemudian terdiam. Aku sendiri juga tidak punya nomor Gwen.

"Aku tidak punya nomornya." ujarku sambil menyimpan kembali ponsel.

"What?! Suami macam apa yang tidak punya nomor ponsel istrinya sendiri?" Satya mendelik.

"Urus saja urusanmu sendiri."

"Kalau aku punya suami sepertimu, sudah kuracun sejak hari pertama." ujar Satya sambil melangkah menuju pintu.

"Satya." Aku memanggil ragu.

You're My Perfume✅Where stories live. Discover now