BAB 10 : CIPA

52K 4.9K 898
                                    

Komentarnya tolong diperhatiin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Komentarnya tolong diperhatiin. Part kemarin kenapa malah pada spoiler sih. Kan udah dikasih reminder, kalian pura-pura nggak tau aja ☹️

***

"SAMPAH SEKOLAH!"

"BERANDALAN SINTING! NGGAK PUNYA AKAL!"

"CACAT MUKA SEKALIGUS OTAK!"

Berbagai sumpah serapah lainnya dilemparkan secara bersama-sama, tatkala kebakaran gedung perpustakaan berhasil dipadamkan dan Xabiru digaet masuk ke ruangan bimbingan konseling. Mereka tidak pernah semurka ini, bentuk kekacauan apapun yang dilakukan oleh si berandal, sering mereka hiraukan dengan menutup mata. Untuk kali ini—di mana tujuh nyawa sampai dilarikan ke rumah sakit, jelas tidak bisa ditolerir lagi. Mulut-mulut muak itu mulai menghakimi, mencaci dan memaki.

Shea tahu jika perbuatan Xabiru itu salah, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Akan tetapi mendengarkan kalimat kecaman para murid—yang mulai menjadikan fisik Xabiru sebagai bahan olokan, terasa sangat perih di telinganya.

"Berhenti ngehina Xabiru!" teriak Shea pada sekumpulan siswa yang tidak ada hentinya berbicara buruk. "Berani lo bilang Biru cacat, sialan! Mulut lo juga sama!"

Alih-alih ikut terpancing, siswa itu menatap Shea penuh arti. "Kenyataannya, kan, Shey? Tukang hobby hancurin fasilitas sekolah kan emang si Biru. Mentang-mentang punya kuasa."

"Perasaan Farrel sama Dikta baik-baik aja deh," kata lelaki itu kembali. "Cuman si Biru doang emang pewaris Cakrawangsa yang kurang separo kelakuannya. Kalau mau celaka, ya, sendiri aja. Nggak usah ngajak-ngajak orang!"

Shea berdecih hina, dia seratus persen yakin jika orang-orang ini tidak akan berani mengulangi kalimat yang sama di depan wajah Xabiru langsung. Shea menarik dasi lelaki itu, lalu melemparkannya tepat pada mulut siswa tersebut. Gadis itu nampak kokoh dan berani. "Mulut kalian nggak kalah lemes dari banci!"

Shea berlari dari sana, membawa langkah kakinya menuju ruang BK. Dua meter dari posisinya, pergerakan gadis itu terhenti saat pintu ruangan tersebut dibuka dari dalam dan menampilkan presensi seseorang. Xabiru kemudian mendongak, mengarah pada Shea yang berdiri di hadapan lelaki itu.

"Lo ... nggak pa-pa?" tanya Shea.

Xabiru tertegun lama. Dia sudah membuat huru-hara, menghacurkan ketenangan banyak orang dan melukai banyak tubuh, tetapi Shea masih menanyakan hal itu padanya.

"Enggak, Shea." Xabiru menjawab singkat, dari romannya terlihat tidak baik. Lelaki itu melengos meninggalkan Shea, namun berhasil dikejar balik oleh gadis itu dari samping.

"Lo beneran nggak pa-pa?" Shea bertanya lagi. Gadis itu bersusah payah menyamai langkah kaki Xabiru yang terhitung gesit. Ada banyak pertanyaan di kepala Shea yang tidak bisa ia mengerti dengan benar. "Lo kenapa, sih, Ru? Padahal pas SMP lo nggak kayak gini, kenapa sekarang doyan bakar-bakaran? Sering banget, Ru. Hari ini paling parah. Banyak yang luk—"

ENIGMA : Last FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang