| 22 |

3.7K 74 1
                                    


✿︎✿︎✿︎

William Leonard berbalik saat mendengar teriakan wanita yang ia cintai. "Cin, seharusnya kamu tidak melihat ini." Ucap Will.

Ia kesal karena tidak menyadari kehadiran Cindy. Sudah berapa banyak yang wanita itu saksikan. Ia lebih kesal lagi saat melihat siapa yang berdiri di belakang Cindy, pria menyebalkan itu ternyata tidak benar-benar pergi.

Cindy langsung melangkah menghampirinya, menyentuh tangannya yang sebelumnya memegang pisau, lalu tangan satu lagi mengusap pipinya. "Will, kamu juga tidak boleh."

"Tapi dia menyakitimu Cindy. Dia harus menerima akibatnya." Ucap Will suara lembut, nada bicara yang sepenuhnya berbeda dengan saat ia berbicara dengan Henry. Karena hanya Cindy yang pantas akan kelembutannya.

"Aktingnya luar biasa, kan? Kamu bahkan tidak sadar selama ini dia pria normal." Henry tertawa.

Will tahu pamannya ingin membuat Cindy membencinya. Tapi bukan berarti Will bisa menyangkal. Toh, apa yang dikatakan Henry tidak salah. Maka Will fokus mengamati reaksi Cindy yang tak beralih selain menatapnya.

Setelah beberapa saat, Cindy baru menatap ke arah Henry. "Oh, aku tahu, Mr. Henry. Kamu pikir siapa yang membantunya berakting selama ini?"

Mendengar tanggapan Cindy, mata Henry melotot marah. Henry jelas tak senang telah gagal menyulut emosi Cindy. Akan tetapi, sekalipun Cindy berkata telah memaafkannya, Will tahu bahwa dia belum mendapatkan kembali kepercayaan Cindy sepenuhnya. Tapi Will pasti akan berusaha mendapatkan kepercayaan itu.

"Will, lebih baik kita pergi. Biarkan si Mob Bos yang mengurus Henry."

Will mengernyit bingung. "Mob Bos?"

Cindy menunjuk Donovan dengan matanya. Wajah cantiknya terlihat kesal saat menatap pria itu. Bagus. Setidaknya bukan hanya dia yang tak menyukai Donovan.

Menyerahkan Henry pada Donovan sepertinya memang ide bagus. Will memang bisa bersikap kejam dan memiliki obsesi tingkat akut, tapi dia belum pernah bertindak jauh hingga membunuh seseorang. Lagipula, ia juga tidak akan membuat Cindy menyaksikan lebih jauh seberapa kejam dirinya.

Nyatanya, jika mengikuti instingnya saat ini ketika amarahnya berkobar, Will khawatir mungkin ia bisa lebih parah dari Henry.

Donovan mengambil pisau di lantai. Pisau yang sama dengan yang tadi berada di tangan Will, "Aku memang sangat ahli soal torture, Cindy. Kamu memilih orang yang tepat." Donovan menyeringai menanggapi ucapan Cindy. Kemudian perhatian pria itu beralih menatap Will. "Tapi apa kamu yakin akan puas kalau aku yang menyiksanya, William? Lagipula ini dendammu."

"Bawa dia pergi dulu, Don." Ucap Will seraya menarik tangan Cindy. Will ingin membawa wanitanya kembali ke paviliun. "Tyler, awasi dia."

Perkara menyiksa Henry dan dendamnya Cindy lebih baik tidak tahu. Mereka harus segera pergi dari sini. Sesuatu yang tidak dibicarakan bukan termasuk kebohongan, kan?

Rasanya terlalu kejam kalau dia memberitahu Cindy mengenai rencananya terhadap Henry. Apalagi kalau sampai Cindy menyaksikan. Will tak ingin kepercayaan Cindy terhadapnya semakin luntur.

Sekarang adalah saatnya membuat Cindy menyesal telah melanggar perintahnya untuk tetap berada di paviliun belakang. Tentu saja dengan hal-hal yang menyenangkan.

"Will!" Pekik Cindy saat Will tiba-tiba menggendong wanita itu ala bridal. Dengan langkah mantap membawa Cindy kembali ke paviliun belakang. Kediaman utama tidak akan layak pakai sampai setidaknya besok. Para pelayan masih harus membersihkan semuanya.

Masih menggendong Cindy, Will berkata, "Kamu melanggar perintahku, Cin. Kamu harus dihukum."

"Kamu berkali-kali membohongiku, Will. Bukannya kamu juga perlu dihukum?" Cindy membalik ucapannya.

Will terkekeh mendengar ucapan Cindy. "Touche. Kamu benar." Will mengangguk sambil mencium kening Cindy berkali-kali. "Kalau begitu, apa hukumanku, Cin?"

"Kamu harus melayaniku seumur hidup." Ucap Cindy asal. Tapi begitu kalimat itu keluar, Cindy segera menutup mulutnya seolah salah bicara. "Apa terlalu terlalu ekstrim?"

"Tidak juga. Aku bersedia melayani kamu, Cin. Selamanya." Will berganti mengecup tangan Cindy yang masih menutup mulut. Ia merasa gemas tiap kali wanita itu tersipu.

"Aku bercanda, Will." Ucap Cindy. Tapi Will tahu, sebelumnya wanita itu tidak sedang bercanda. Cindy hanya keceplosan mengungkapkan kata hatinya dan Will sangat senang mendengar kalimat itu. "Sekarang, turunkan aku. Kita sudah di kamar."

Will mendudukkan Cindy di tepi kasur, lalu berlutut di depan wanita itu. Tangannya menggenggam tangan Cindy erat, serta mengecupnya beberapa kali. "Cindy Lenhart, menikahlah denganku?"

"Will, aku.." Mata Cindy langsung berkaca. Bukan reaksi yang Will inginkan.

Will memang sudah tak sabar ingin melamar Cindy dan menikahi wanita itu. Tapi bukan pada situasi semacam ini. Will sadar mereka baru saja melalui malam yang panjang.

Namun saat Cindy berkata menginginkan Will melayani wanita itu selamanya, ketidaktahanan Will runtuh. Ajakan menikah itu meluncur dari bibirnya. Will mengumpat karena lagi-lagi membuat wanitanya meneteskan air mata.

"Cin, jangan menangis." Will segera menghapus air mata Cindy, lalu berdiri untuk mengecup mata Cindy yang basah. "Melihatmu sedih adalah hal terakhir yang aku inginkan."

"Aku bersedia, Will." Ucap Cindy.

Mendengarnya, Will merasa lega dan seketika mendaratkan ciuman ke bibir Cindy, membuat wanita itu tersenyum. "Terima kasih."

"Tunggu sebentar, tapi tak ada cincin?"

"Tentu akan ada cincin. Aku memberikan apapun yang kamu. Cin. Tapi sekarang, kita harus mandi."

Will akan merayakan malam ini dengan memanjakan calon istrinya.

✿︎✿︎✿︎

Ramaikan dengan vote dan komen, yuk!

Biar Scarlett semangat nulisnya. 


Obsess Me, Idiot! [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang