Bab 10

5K 853 94
                                    

Mita gelisah karena Rolan tak juga mengangkat teleponnya. Ah... harusnya dia meninggalkan saja ponselnya kepada Rolan. Tapi kalau beneran dibuang...? Mita mengelus ponselnya, nanti dia bingung gimana minta yang baru ke Papa.

Atau jangan-jangan Bang Rolan udah kembali ke rumahnya?? Tapi kata Juni kalau Nondong masih dirawat di rumah sakit, Bang Rolan nggak mungkin pulang. Tapi rumahnya sudah kembali ramai, mana mungkin Bang Rolan nggak datang kan??

Mita mulai dirias kembali, dan lagi-lagi dalam posisi menunggu. Andai Bang Rolan mengangkat teleponnya. Ini! Dia bahkan tak membalas voice note Mita.

"Udah datang Kak..." seru Juni tak peduli dengan keberadaan MUA di sana.

"Siapa??"

"Ya keluarganya Bang Rolan."

"Bang Rolannya ada kan?"

"Nggak kuliat sih."

"Ck! Juneeet..."

"Bentar-bentar kuliat dulu." Juni kembali keluar dan dengan napas tersengal dia kembali membuka pintu.

"Ada Kak!"

Wajah Mita langsung cerah kepanikannya segera menghilang.

Di sisi lain, Rolan menatap seisi ruangan rumah megah itu dengan perasaan yang benar-benar berbeda. Perasaan risih dan ingin segera pergi.

Selama dua hari telah memberi Rolan sedikit waktu untuk berpikir, dia masih sangat marah dengan skenario jebakan Bapaknya, namun dia juga tak dapat meninggalkan Nondongnya begitu saja. Bapaknya menyerangnya tepat dibagian terlemahnya. Sekalipun Rolan tak yakin dengan ancaman-ancaman Bapaknya, tetapi nyatanya Rolan mendapati fakta jika pamannya Iman memang sudah bekerja di kebun sawit milik orang tua Mita. Dan entah apa yang dilakukannya di sana, Rolan tak yakin itu sesuatu yang bagus. Buruk bagi paman Iman, akan buruk bagi Nondongnya, dan ujungnya dia akan terimbas.

Rolan terus berpikir bagaimana keluar dari jeratan ini, lalu dia kembali mengingat Mita. Dari apa yang dia dengar dan lihat, Rolan berani mengambil kesimpulan jika Mita tak akan mau menghabiskan waktu seumur hidup di dalam pelosok. Terlebih, Mita tak akan bertahan lama di tempatnya. Mita akan pergi dengan keinginannya sendiri. Menangis minta diantar pulang. Rolan yakin!

Jika Rolan sudah berada di rumahnya nanti, tak akan ada yang bisa menyuruhnya pindah. Siapa pun termasuk Ayah Mita sekalipun. Terserah apa anggapan seluruh keluarga besarnya. Tidak ada yang dapat mengatur Rolan. Dan nantinya, Mita akan dengan sendirinya kepada Papanya untuk berpisah darinya, karena tak tahan tinggal di kampung.

Untuk itulah, dengan tatapan dingin meski darahnya tetap berdesir melihat wajah-wajah munafik terutama keramahan ibu tirinya, Rolan kembali memijak rumah orang tua Mita.

Setelah prosesi penyerahan Mita kepada keluarga Rolan selesai, orang-orang mulai bercakap-cakap informal.

Demi apa pun Rolan terus menghindari tatapannya dari Mita. Rolan tak menampik, Mita selalu tampil manis dan hal itu yang membuat Rolan menjaga matanya. Dia tidak akan tertipu lagi. Sudah cukup. Nyatanya semua wanita cantik memanfaatkan kecantikannya untuk memperdaya pria. Rolan tak akan tunduk. Orang-orang tak akan bisa bersenang-senang di atas penderitaannya. Dendam Rolan telah mencapai puncaknya.

"Aku pulang naik Bus, malam ini." Rolan tak peduli dengan siapa pun yang mendengar ucapannya. Tetapi dia mengungkapkannya begitu melihat Mita mengambil kesempatan untuk mendekatinya.

"Beneran malam ini?"

Bola mata Rolan sedikit bergerak karena tak ada ekspresi gusar di mata Mita justru Mita tampak senang. Atau mungkin Rolan terlalu memikirkan yang berat, hingga tak memikirkan kemungkinan selama dua hari ini Mita juga berpikir untuk segera mengakhiri hubungan mereka? Bukankah itu sangat bagus?

Jejak LaraWhere stories live. Discover now