more of them | rain

392 42 26
                                    

Kalau ditanya, apakah berjalan di altar dan mengucapkan janji untuk selalu sehidup dan semati adalah akhir yang mudah, jawabannya adalah tidak. Tentang aku dan masa lalu, bahkan sampai sekarang pun aku masih nggak mengerti, kenapa bisa aku bertindak sebodoh itu. Aku paham kalau hidup memang harus terus bergerak, move on. Seribu kali aku baca kalimat bijak atau kata-kata motivasi yang aku harap bisa juga menyadarkan aku untuk berhenti bertanya-tanya kepada takdir dan mengikhlaskan semuanya. Kalimat-kalimat itu sudah ku hafal di luar kepala.

Let come what comes, and let go what goes.

I tried, I swear. Aku sangat sadar bahwa aku memang harus berubah setelah kepergian Genta. He had enough. Bahkan seorang Genta saja memutuskan untuk mundur. Semua orang memang harus mundur saat dirasa yang diperjuangkan tidak lagi menunjukan kemajuan. Aku coba untuk sadar, tapi pada akhirnya, aku tetap nggak bisa.

Aku cuma bisa menyesal, tanpa bisa melakukan apapun.

Awalnya aku marah. Marah pada takdir yang terlalu banyak menggariskan kisah tragis untukku. I was just 5 years old when destiny started playing with me. Puncaknya adalah pada saat kematian Papi. It felt like I just wanted to go with him instead of continued my mine. I shut everyone down. I did not let anyone in. Some stay, but the other left. That was the hardest one. I lost my self, I lost everything, I lost Genta, and I lost my reason to stay alive.

I started to live in the past. Because past is the only thing that i could owned. I couldn't live the present without him in it. The worst thing was seeing him would live the future with someone else while I'm still here, left far behind. Everyone told me to let him go but it didn't seem as easy like that. I could gave you hundred reasons to not let him go. One of it was the reality would seems unfamiliar without him. And somehow, I'd created different ending of us in my head every night right before I asleep. Guess 'what if' was my favorite word every night.

Day by day passed and the only thing i can felt is emptiness. Aku sudah bisa masuk ke dalam fase menerima. Aku sepertinya sudah bisa ikhlas atas rentetan kejadian yang menimpa. Aku sudah beanr-benar bisa ikhlas atas kepergian papi. Namun aku masih belajar ikhlas untuk menerima bahwa sekarang tidak ada lagi Genta disini. Aku ikhlas, bukan berarti aku tidak sayang lagi. Kalau orang lain bilang move on dengan cara melupakan, maka aku move on dengan cara mengikhlaskan. Aku ikhlas Genta sudah tidak lagi disini, aku ikhlas dengan kenyataan bahwa bisa saja di luar sana Genta bisa dirayakan dengan perempuan selain aku. Aku ikhlas, atas segala kejadian yang menimpa. Aku akan terus menyayangi Genta, dan ikhlas kalau aku bukan lagi pilihannya.

Kerja sampai larut malam dan terkadang sampai tertidur dengan dokumen-dokumen yang masih terbuka sepertinya caraku untuk mendistraksi dan membuang kekosongan yang masih sangat terasa. Well, the positive side was JJS had significant growth from my performance. I should've proud tho. Pada titik ini, aku sudah nggak lagi begitu terpuruk. Aku sudah bisa bekerja, aku sudah bisa tersenyum, aku sudah bisa bersosialisasi. Sejujurnya, aku pernah melewati masa-masa seperti ini juga bersama Jevano. Dia yang pernah membantuku untuk bangkit. But yeah, you guys know the story. Bedanya, sekarang kesedihan itu tidak bisa hilang, hanya bisa disamarkan dan ditutupi dengan lelahnya bekerja.

Suatu malam, aku pernah jatuh pingsan saking lelahnya. Yang bisa aku ingat waktu itu cuma aku yang lagi ada di basement salah satu gedung perkantoran di Jakarta untuk menghadiri sebuah rapat dengan kolega. Lalu tiba-tiba aku sudah terbangun di rumah sakit tempat papi di rawat dulu. Hanya ada Om Yohan yang menungu. Katanya aku sudah nggak sadar selama dua hari. Kaget? jelas. Ah aku mulai kesal kepada diri sendiri yang terlalu lemah untuk menanggung semua kegiatanku.

"Kenapa harus sakit sekarang, sih? lagi banyak kerjaan di Kantor." grutuku pada diri sendiri.

"Ye! masih baik lu cuma pingsan di basement terus langsung dibawa ke rumah sakit karena kecapekan, bukan karena tipes! Parah banget lu. Kata dokter hampir malnutrisi lu. Makanya kalo makan yang bener!" Om Yohan terus marah-marah yang semakin membuat kepalaku berdengung.

ErstharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang