21. Musim semi yang tak boleh ada.

113 7 8
                                    

 (mohon dibaca dahulu)

hai lama tidak berjumpa.
maaf karena membuat kalian menunggu.

Dan di sini aku akan menjelaskan alasannya;
Aku sebetulnya sudah menyelesaikan cerita ini dari sebulan yang lalu, tetapi ada masalah yang tidak aku kira. Cerita Ending, Beginning ini semua draft dan kerangka cerita sudah aku selesaikan sampai ending dan aku rencanakan untuk update setiap minggu, tapi ternyata sebelum rencana itu terlaksanakan, draft dan semua isinya itu hilang (iya hilang)...

kabar buruknya aku ga sempet untuk bikin salinan. Nangis? Banget. Iya aku nangis dan bingung sampai gatau harus mulai dari mana. Tapi mau bagaimana lagi? Semuanya udah terjadi. Aku berusaha bikin semuanya dari awal lagi meskipun itu sulit, iya sulit banget.

Aku cuman mau minta maaf bila Endings Beginnings tidak bisa tepat waktu dari biasanya, ya karena itu.

Jadi, aku harap kalian sabar untuk menunggu.

Aku berharap semoga aku bisa mempertahankan cerita ini sampai akhir.

Dan sebagai permohonan maaf aku siapkan chapter yang cukup panjang. Jadi, selamat membaca dan terimakasih sudah menunggu lama.

*silakan untuk tinggalkan jejak terlebih dahulu*

__

      Malam sudah mulai menukik ketika Ae-ri baru saja keluar dari kamar mandi selepas membersihkan diri dari kekacauan petang tadi.  Dirinya kini menghadap pada cermin selepas memakai pakaian yang telah diberikan Nyonya Lim beberapa saat yang lalu---sebuah dress floral biru muda lengkap dengan cardigan senada.

Ae-ri mendadak menjadi ingin tertawa mengingat tentang kehebohan yang tercipta akibat ulahnya bersama Seokjin, yaitu tatkala sampai di panti dengan keseluruhan tubuh basah kuyup bahkan lupa akan lantai yang ikut-ikutan basah dibuatnya. Lantas hanya tersenyum tanpa dosa bak anak kecil saat ditanyai oleh Nyonya Lim perbuatan macam apa yang telah dilakukan keduanya hingga berakhir demikian. Beliau sampai mengelus dada dan geleng-geleng kepala. Kendati setelahnya tak menuntut penjelasan lebih lanjut, serta menyudahi untuk menyuruh keduanya lekas berganti pakaian.

Pun Ae-ri melakukan yang sama, sudahi untuk ingat-ingat dan pilih untuk lekas keluar. Ia memeriksa pakaiannya sekali lagi sembari menghadap kanan kiri dan mengangguk saat sudah yakin. Lalu handuk yang melilit di kepalanya ia lepaskan. Rambutnya tentu masih terlalu basah hingga menetes ke permukaan lantai. Ae-ri melempar pandang ke seluruh penjuru kamar tetapi sepertinya Nyonya Lim tidak memiliki sebuah pengering rambut. Ae-ri tidak pikirkan itu dan langsung mengeringkannya secara manual saja sembari menyeret langkahnya keluar kamar.

Menyusuri selasar panti, kakinya berhenti melangkah saat matanya bergulir pada jendela yang tampilkan hujan yang masih belum mereda.

Ae-ri berpikir lagaknya keputusannya untuk setujui ketika Nyonya Lim menyarankan untuk menginap sudah benar. Sebelumnya beliau mengatakan bila dirinya cemas sebab telah mendengar kabar mengenai tetangga di ujung persimpangan, yang mengatakan bahwa beberapa dahan pohon berserakan menutupi ruas jalan sebab angin dan petir yang menyambar-nyambar.

Ae-ri ingat bagaimana raut keibuan Nyonya Lim berkerut khawatir seraya membujuknya. Bagaimanapun Ae-ri pula tidak ingin membiarkan Seokjin untuk berkendara di dalam kondisi hujan seperti ini. Ia mengetahui Seokjin pasti tidak terbiasa. Bahkan dirinya berharap sekarang pemuda itu tidak lagi terusik oleh suara bising mereka.

Ae-ri menghela napas. Menyeret diri dari lamunannya saat angin terasa menusuk berhembus melalui celah partisi yang terbuka. Tidak ingin berlama-lama, ia lantas mendekat dan meraih kusen jendela itu serta hendak memasang kunci tetapi kemudian merasakan ada seseorang yang berada di belakangnya.

Endings, Beginnings.Where stories live. Discover now