Mesin Pembunuh

3.7K 304 19
                                    

"Nessa Clarievy"

            "Baik, Pak"

            Nessa mulai mengambil ancang-ancang untuk memulai larinya. Hari ini diadakan tes lari dan voli. Satu-persatu nama yang disebutkan mulai mengisi ruang kosong di balik garis putih itu.

            "Siap! Bersedia! Mulai!" aba-aba Bu Prisca terdengar lantang dan tegas. Ya, walaupun badannya terbilang 'mini' tapi ia wanita yang tangguh dan ahli dalam segala bidang olahraga. Ia adalah mantan atlit judo dan pernah memenangkan kejuaran nasional di masa mudanya. Namun ia berhenti semenjak bersuami.

            Aku hanya duduk sambil meluruskan kedua kakiku. Kedua tanganku ku arahkan ke belakang untuk menopang berat tubuhku. Membosankan.. aku sudah selesai berlari lebih dulu. Mataku tertuju pada gadis yang berlari di lintasan itu. Ia terlihat sangat bersemangat namun hasil yang di dapatkannya adalah posisi kedua dari akhir. Nessa. Ia memang kurus, namun ia payah dalam berlari. Mungkin karena ia tidak pernah berlari di dalam rumahnya? Entahlah. Tapi api semangat yang tergambar jelas di wajahnya membuatku tersenyum.

Aku mengalihkan pandangan mataku ke arah kelompok laki-laki. Rupanya mereka sedang bermain bola. Laki-laki yang sedang mempermainkan bola sesukanya itu menarik perhatianku. Iru. Hm, rupanya ia juga pintar di bidang olahraga. Cih, tapi apa-apaan dengan gayanya itu? mengontrol bola sesukanya dan malah seperti mempermainkannya. Menyebalkan. Suara gadis-gadis di tepi lapangan yang  menyorakinya membuat mataku sedikit melirik mereka. Iru memang mulai jadi idola di sekolah ini. Selain karena parasnya yang tampan, ia juga pintar dalam akademis dan non-akademis. Tapi semakin tinggi pamornya, semakin tinggi pula kebencian mereka terhadapku. Karena mulai dari awal, Iru datang sebagai kekasihku.

"Rene!" suara Nessa membuyarkan pikiranku.

"Hm? Oh, kau sudah selesai berlari?" aku mendongak untuk memperhatikan wajahnya.

"Tentu saja. aku baru saja selesai. Bu Prisca memanggilmu. Ia ingin kau membantunya mengambil net untuk penilaian voli setelah ini. Oh, ia juga ingin mendiskusikan tentang nilaimu. Sepertinya ada tugasmu yang belum kau selesaikan"

"Hm, tugas? Ah, iya. Baiklah" aku berdiri akan melaksanakan perintah itu.

"Aku akan membantumu membawakan net" aku tersenyum mendengar kata-katanya.

"Tidak, Nessa. Kau masih lelah setelah berlari bukan? Duduklah. Tunggu aku kembali"

"Benarkah kau tidak membutuhkan bantuanku? Baiklah Rene. Cepatlah kembali" Nessa tersenyum padaku.

Aku berjalan pergi setelah membalas senyumannya. Kepalaku menoleh sejenak ke arah kelompok anak laki-laki dan menemukan Iru terlihat serius dengan permainan bolanya. Tak lama kemudian mataku kembali fokus ke arah jalan di hadapanku.

Kakiku memasuki pintu aula sebelah barat dan mendapati keheningan di tempat itu. Suara sepatuku berdecit di lantainya dan menimbulkan gema. Pintu gudang olahraga itu terbuka. Samar-samar aku mendengar suara dari dalamnya. Tubuhku semakin dekat dan akhirnya aku masuk ke dalam ruangan itu.

"Bu Prisca?" aku mencoba bersuara. Tapi tak ada jawaban. Mataku mengelilingi seluruh ruangan namun hasilnya, kosong. Tiba-tiba hidungku mencium sebuah bau yang.....amis? Aku menyadari ada sesuatu yang aneh. Tubuhku ingin segera pergi dari sini. Aku mencoba membalik badanku dan ingin segera berlari dari sini. Namun tiba-tiba pintu tertutup keras.

Jantungku berdetak kencang. Sial. Tenanglah. Tenanglah Rene Fixlrein. Aku mencoba mengatur nafasku yang mulai tak karuan dan  sepertinya berhasil. Mataku mulai melirik ke sekeliling ruangan yang gelap itu. Bau amis itu semakin menyengat. Bau apa ini? Perlahan aku mencoba melangkahkan kakiku dan mencoba meraba apa yang ada di dekatku.

MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang