16. Just be yourself

86 12 0
                                    

Jaka menatap kembali wajah baru yang tidak lebih memiliki label sebagai orang asing di dalam rumahnya. Matanya sesekali menampakkan aura tidak bersahabat (lagi) dengan wanita itu yang sekarang coba mengambil hati si bungsu tanpa satupun effort sebagai seorang 'ibu'.

Kaki pemuda itu melangkah satu persatu mendekati yang lebih tua di depannya tanpa rasa sopan.

Jaka menunjuk meja belajarnya yang bersih sebelum mengacak rambutnya sendiri, "Gausah sok-sokan bersihin kamar gue, lo gatau kan barang-barang itu, barang-barang yang lo buang itu berharga buat gue?" ujarnya dengan volume sekecil mungkin. Cukup kecil hingga dapat dibilang sebagai anak yang berbakti kepada orang tua-hanya hiperbola.

Jaka sebenarnya tak pernah sama sekali menghargai orang asing dibenaknya itu. Tidak sekalipun orang itu memiliki peran lain sebagai 'anonim' di matanya.

Jaka ingin membentak wanita paruh baya itu, tetapi tidak bisa, lagi-lagi tidak bisa. Tangannya terhenti tatkala mata bersemu pandang dengan wajah tua yang penuh gurat tak menyenangkan.

Jaka dididik agar tidak memukul orang tua, wanita, dan anak kecil.

Tapi gara-gara wanita ini, gara-gara orang asing ini, keluarganya hancur lebur tak bersisa. Bahkan peran orang tua saja tak bersisa sama sekali.

Hawa ceria di dalam rumah yang selalu pemuda itu rindukan, tidak akan pernah kembali mengudara menunggunya saat pulang dari sekolah dasar.

Wajah cantik nan indah yang siap menyambutnya saat kaki melangkah ke dalam rumah tak pernah lagi menjadi pemandangan yang terbaik.

Canda tawa seorang ayah kepada anak laki-lakinya tak pernah lagi menemani malam hari.

Dan tangan usil yang setiap hari bekerja menghantui hidup tenangnya tak pernah lagi bersua.

Hidup Jaka sekarang remang.

Ayah, Bunda, dan Kakak. Semuanya sirna. Keluarganya ada pada ujung kehancuran-tidak, memang sudah pada kehancuran.

Jaka menatap sekali lagi wanita paruh baya di depannya sebelum berlalu keluar kamar dengan perasaan hati yang kacau balau. Bagaimana tidak? Setelah membuang gitar pemberian Bunda yang berharga sekarang dia membuang album dari Yassar yang sangat penting baginya. Sampai kapan orang asing itu akan terus ikut campur dalam dunianya? Begitu pikir Jaka.

Seharusnya dia bersyukur atas semua kasih sayang yang pernah Ia dapatkan. Jaka seharusnya bersyukur. Dibanding teman-temannya yang entahlah, tak bisa dimengerti jalan hidupnya, Ia termasuk beruntung.

Bagaimana jika dia adalah Wiksa yang tak tau siapa orang tuanya sejak lahir? Bagaimana jika dia adalah Yassar yang kehilangan ayah dan kewarasan ibunya? Bagaimana jika dia adalah Yudha yang tak pernah bertemu sang ibunda? Bagaimana jika dia adalah Jayan yang masih memiliki orang tua lengkap tetapi tak dianggap oleh Ayah sendiri? Bagaimana jika dia adalah Malik yang hanya mendapatkan pukulan oleh Mama tirinya hanya karena nilai yang buruk? Bagaimana jika dia adalah Satria yang tak pernah dilihat sebagai anak oleh satu-satunya keluarganya? Bagaimana jika dia adalah Sam yang selalu menangis dalam diam dan entah apa yang dia sembunyikan dibalik semua baju panjangnya itu?

Bagaimana? Jaka tidak mungkin bisa hidup dengan seluruh ironi itu.

Ia selalu berdoa, agar seluruh teman-temannya mendapat hidup yang lebih baik, ataupun semoga mereka bisa melewati hidup ini dengan baik dan senyum.

Mereka keluarga asli Jaka. Tidak ada yang bisa menandingi mereka semua dalam hal berpura-pura.

Jaka melenggang pergi dengan motor modif kesayangannya, tak lupa pula tas teknik industri yang sangat dia sukai itu.

IRONI dari SEMESTA | ATEEZ ffWo Geschichten leben. Entdecke jetzt