31. Hitam dan Merah Muda

18 3 0
                                    

|abel
|nanti aku jemput yaa
|kamu tidak sibuk kan?

ga, jangan!|

|kenapa?

aku mau sendiri aja|

|tapi ini sudah malam
|kamu kenapa sih? ada masalah ya?
|abel?
|kalo aksa salah, minta maaf ya


Jam sudah berdenting untuk kelima kalinya saat Abel baru saja menjauhkan ponsel dari wajah setelah lama menatap layar cerah benda itu. Ia berdecak malas, ini sudah waktunya pergi ke rumah Aksa. Sebenarnya dari tadi ia sudah menerima beberapa notifikasi pesan dari cowok itu, tapi Abel pura-pura lupa dan seolah jadi mengabaikannya. Ia hanya membalas seperlunya saja.

Padahal kalau boleh jujur ia sangat ingin membalas pesan Aksa, sialan. Gadis itu menggigit buku jarinya bimbang. Ia harus pergi, dan itu pasti. Dengan sekali sentak Abel melangkah keluar kamar, rupayanya di ujung ruang tamu sana ada ibunya yang sedang menjahit pakaian milik Firman yang sobek.

Abel berjalan dengan langkah pelan bahkan sempat tak terdengar. Ia pikir sang ibu tidak menyadarinya, namun ia salah. Ibunya menoleh persis saat Abel akan keluar dari rumah.

Awalnya Aksa bersikeras akan menjemputnya, namun Abel menolak karena baginya ia bisa pergi sendiri.

"Mau ke mana?" mendapat pertanyaan mendadak yang sebenarnya umum ditanyakan semua orang, Abel cuma mampu menggaruk tengkuknya padahal tidak gatal.

Gadis itu tersenyum memperlihatkan giginya yang tersusun rapi. "Abel mau keluar, Bu. Diajak temen main ke rumahnya. Buat makan malem gitu Bu."

"Cowok atau cewek?"

"Em ... cowok sih,"

"Diner?"

"Ya nggak juga sih," jawab Abel tak meyakinkan. Dia sendiri tidak tahu kenapa Aksa mengajaknya untuk pergi ke istananya itu.

Sri kembali fokus pada kain bahan di depannya, jahitan yang hampir rampung. "Terus ... berangkatnya sendiri, malem-malem?"

"Ya iya, Bu. Nanti Abel naik gojek kok."

"Mending minta anterin Bapak aja, kebetulan lagi nganggur kan."

Lagi-lagi Abel menggaruk tengkuknya, kaki gadis itu sudah bergerak-gerak gatal ingin keluar.

"Kenapa?" tanya Sri kala melihat gelagat Abel yang menurutnya aneh, lagi pula Abel itu tipe anak yang pemalas. Jarang bahkan tak pernah keluar rumah selain ke sekolah atau bila ada urusan penting.

"Nggak papa sih, cuma Bapak pasti capek abis pulang kerja, Bu."

"Kenapa capek?" tiba-tiba saja orang yang disebut muncul dari tirai pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah.

"Nah, itu Bapak." Ujar Sri langsung tanpa menoleh.

"Apa sih, dari tadi Bapak denger manggil Bapak mulu." Sumandi berjalan sambil membawa secangkir kopi hangat dan duduk di sofa. Pandangannya lurus ke arah sang putri yang sudah rapi dan wangi.

"Abel, mau ke mana rapi begitu?"

"Anakmu tuh Pak, katanya diajak keluar sama temen, acara makan malem."

Sumandi menoleh kaget. "Acara apa, kumpul-kumpul nanti pasti ada nginep-nginepnya ya kan, jangan bilang banyak laki-laki? Nggak! Nggak boleh!" Tegasnya melambaikan tangan tanda tidak setuju.

"Ish Bapak, belum juga Abel ngomong! Ini tuh cuma makan doang habis itu pulang nggak ada nginepnya. Boleh lah Pak, nggak enak juga Abel nolak."

"Bolehin aja Pak, daripada dia di rumah mulu."

Ineffable |End|Where stories live. Discover now