20

45 4 0
                                    

Silahkan tekan tanda vote (⭐) jika berminat 😉
Happy reading...

─────────────────────────

"Apa?." Reyhan terkejut mendengar ucapan Ratih.

Seketika Zen mengingat saat dimana Sella keluar dari kebakaran itu bersama dengan seorang anak laki-laki.

"Saat kejadian sore tadi, nona mampir ke kefetaria karena ingin menemui saya. Saat menunggu makanan tiba, nona melihat putra saya bermain api di dekat kabel yang menyebabkan kebakaran terjadi. Lalu nona menyuruh sekertarisnya untuk membawa saya keluar dari kafetaria yang terbakar, dan akhirnya nona sendiri yang menyelamatkan putra saya." Jelas Ratih panjang lebar.

"Kami mohon maaf tuan, kami pasti akan mengganti kerugian yang disebabkan oleh putra kami." Ucap suami Ratih.

Reyhan memijat pelipisnya, ia tidak tau harus bereaksi seperti apa. Ia sangat marah saat mendengar pengakuan Ratih, tapi Reyhan tidak mungkin menyalahkan seorang anak kecil yang tidak tahu apapun.

Zen, Belva, dan Daniel juga sama terkejutnya setelah mendengar pengakuan Ratih. Mereka tidak menyangka kebakaran besar yang membuat kondisi Sella seperti ini di sebabkan oleh seorang anak kecil.

"Saat ini aku terlalu banyak menanggung beban pikiran, jadi aku tidak tau harus bereaksi seperti apa. Kita akan memutuskan semuanya setelah putriku siuman. Saat ini kalian bisa mengurus putra kalian dulu." Ucap Reyhan.

"Terimakasih tuan, sekali lagi kami memohon maaf sebesar-besarkanya, ini semua karena kami lalai dalam menjaga putra kami."

"Itu benar, lain kali kalian harus mengawasi putra kalian dengan lebih baik lagi, aku tidak akan memaafkan kalian jika hal ini terulang lagi."

"Baik tuan, kami akan mengingatnya."

Ratih dan suaminya pun pergi dengan perasaan takut, tentu mereka sudah siap menanggung semua resikonya nanti setelah Sella siuman.

"Om jangan terlalu memikirkan hal ini, fokus saja pada kesehatan Tante Meta, biar Zen yang urus Sella." Ucap Zen.

"Makasi ya, Zen. Kalau gitu om mau liat kondisi Sella sebentar. Kalian mau makan malam 'kan?"

"Iya, om."

"Baiklah, kalau gitu om masuk dulu."

Zen, Belva, dan Daniel pun pergi ke kafetaria rumah sakit untuk makan malam.

"Kak, dimakan dong nasinya, jangan cuma di mainin." Ucap Belva yang melihat Zen hanya melamun sambil memainkan nasinya.

"Iya bro, kalo lo sakit, siapa yang bakal jagain Sella nanti."

"Gue kepikiran kenapa Sella masih belum siuman sampai sekarang." Ucap Zen.

"Sabar kak, Sella pasti bakal segera sadar kok."

Zen hanya mengangguk, tetapi di dalam lubuk hatinya, ia semakin takut untuk kehilangan Sella. Jujur, ia belum sanggup jika harus kehilangan Sella.

Makan malam Zen bersama Daniel dan Belva pun berakhir. Zen menyuruh Daniel untuk mengantar Belva pulang karena sudah larut malam dan mengingat Zen juga sudah mengetahui penyakit Belva, ia tak ingin penyakit adik sepupunya itu menjadi semakin parah.

Jadi disinilah Zen, ia masih setia menemani Sella di ruangannya.

"Kamu kapan bangun sih? Aku butuh kamu, Sel." Ucap Zen.

"Sebenarnya aku datang ke kantor kamu karena aku lagi butuh tempat buat istirahat, aku masih syok dengan penyakit Belva. Tapi sekarang kamu malah ikut-ikutan ngasi aku beban pikiran. Kamu ga kasian sama aku, hm? Ayo buka mata kamu, Sel. Aku kangen." Tanpa sadar air mata Zen mulai menetes lagi, ia menangis sambil mencium punggung tangan Sella.

Zen terus menangis hingga tanpa sadar dia tertidur sambil memegang tangan Sella. Hari itu terasa sangat berat untuk Zen.

Hari sudah pagi dan matahari sudah menyinari ruang rawat Sella, Zen merasakan seseorang mengelus kepalanya dan ia pun terbangun.

"Hai..." akhirnya Zen bisa mendengar suara orang yang sangat ia rindukan, siapa lagi kalau bukan Sella.

"Sella?! Kamu udah siuman?." Tanya Zen terkejut.

Sella hanya mengangguk, ia masih belum punya tenaga untuk menjawab pertanyaan Zen.

"Tunggu, biar aku panggilkan dokter." Zen pun langsung berlari keluar untuk memanggil dokter.

Tak lama kemudian Zen datang bersama dengan dokter dan suster.
Mereka memeriksa kondisi Sella selama beberapa menit.

"Kondisi nona Sella sudah stabil, tetapi stamina nona Sella masih lemah. Jadi nona Sella masih harus banyak istirahat agar staminanya cepat pulih." Jelas dokter tersebut.

"Baik dok, terimakasih."

"Kalau begitu saya permisi dulu." Ucap dokter tersebut.

Sella tersenyum ke arah Zen setelah dokter itu pergi.

"Kenapa kamu senyum-senyum, hm?." Tanya Zen.

"Kamu pasti lelah..." ucap Sella lirih namun masih bisa di dengar oleh Zen.

"Iya, aku lelah! Sangat lelah! Karena kamu butuh waktu lama buat siuman." Ucap Zen.

"Maaf..." ucap Sella lirih.

"Kenapa sih kamu harus nyelamatin anak itu? Kamu tau gimana perasaan aku waktu liat kondisi kamu, hm? Aku takut, aku marah, semua perasaan itu menjadi satu waktu aku liat kamu pingsan di depan aku-." Zen tidak melanjutkan kalimatnya karena air matanya sudah mulai mengalir lagi.

Zen menutupi wajahnya, sebenarnya ia tidak ingin terlihat lemah di depan Sella, tapi air matanya tak bisa berhenti mengalir.

Sella menarik tangan Zen, ia memberi isyarat agar Zen masuk ke dalam pelukannya.
Tentu saja Zen menuruti keinginan Sela, ia juga sangat merindukan wanita ini.

"I'm okey, sayang." Bisik Sella di telinga Zen.

Zen menganggukkan kepalanya sambil tetap menangis "aku kangen kamu, aku gamau hal kaya gini keulang lagi. Aku takut."

"Aku janji, ini pertama dan terakhir kali." Sella mengeratkan pelukannya pada Zen. Rasa sakit di tangan kanan Sella jadi tidak berasa karena rasa sakit itu kalah saat Sella melihat Zen menangis kencang untuk pertama kalinya.

Saat itu Sella menyadari bahwa dirinya sangat berarti bagi Zen, kenyataan itu membuat Sella sangat bahagia dan berjanji tidak akan menjadi alasan bagi Zen untuk menangis lagi.

🌞🌞🌞

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sunshine | Hyunjin YejiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang