Depresi

4 2 0
                                    

Matahari kembali menyapa, secercah cahaya pagi menembus hangat dari balik dinding bilik Gus Hilman. Langkah nya terasa cukup berat untuk melangkah meninggalkan sejuta kenangan tentang Rukayya. Meski hanya kenangan konyol yang cukup mengundang gelagaan tawa saat mengingatnya. Tapi, itulah kenangan yang tersisa setelah semua berlalu di jalan kepahitan.

Matanya menatap kembali ke sebuah ruangan di ujung koridor. Rasa nya, bayangan Rukayya sedang berjalan sambil tersenyum lalu melambaikan tangan kepadanya. Benar-benar bayangan yang cukup menyakitkan. Rukayya, kini hanya tinggal nama yang tersemat rapi di dalam hati. Meski tak bisa memiliki, hanya bisa menyematnya di hati.

"Man, bagaimana perasaan mu?" tanya Abah, khawatir dengan anak bungsunya.

"Nggak apa-apa kok,  Bah. Cuma sedikit lelah saja," elaknya, sambil meraup wajahnya dengan tangan.

"Man, itu lah kenapa kita harus menghargai orang yang mencintai kita, agar suatu waktu kita tidak akan menyesal, karna sudah mengabaikan waktu yang sangat berharga itu. Kini, untuk melihat senyumnya saja bahkan sudah tidak lagi bisa. Takdir itu memang tidak bisa di ubah, semua takdir itu sudah tertulis di Lauhul Mahfudz, kita hanya bisa menjalaninya saja. Tapi bukan berarti kita tidak bisa membuat takdir itu lebih indah. Sudah lah, kalau Hanif sampai melihat mu seperti ini, takut nya nanti dia akan mengejek. Tidak baik."

Gus Hilman hanya mengangguk pelan mendengar nasihat Abah nya itu. Meski pun ia sendiri juga paham akan takdir. Tapi mau bagaimana lagi, hatinya sudah terlanjur patah.

"Maaaann, ayo sarapan, aku udah masak," pekik Gus Hanif dari dalam bilik.

"Iya bang, sebentar lagi saya kesana." jawabnya, tak kalah memekik nya juga dari Gus Hanif.

***

Di rumah Buya. Semua sedang asik menikmati secangkir teh di pagi hari. Suasana cukup hening, hanya detikan jam yang terdengar di pojok ruangan itu.

Mata mereka semua tertuju pada Rukayya, yang hidup tapi seolah tak bernyawa. Lebih tepat nya lagi, hidup segan mati tak mau.

"Rukaaa, sini dekat Abu," panggil Buya, memecahkan keheningan pagi itu.

"iya," jawabnya dengan singkat, lalu beranjak duduk ke samping Buya.

"Bagaimana kabar mu? Sehat?" tanya Buya, basa basi. Padahal ia tau persis bagaimana keadaan Rukayya saat ini.

"Ya begini lah, Bu," Rukayya menjawab dengan lesuh, wajah nya juga di tekuk.

"Abu rindu anak Abu yang ceria. Ruka mau kemana? Abu temenin nanti yaaa?"

"Nggak usah, Bu.  Ruka udah gede, nggak kecil lagi kayak dulu. Boleh Ruka ke kamar?"

"Boleh, istirahat tapi jangan sampai tertidur. Ini masih pagi, tidak baik untuk kesehatan."

Rukayya hanya mengangguk pelan. Sambil mengayuh langkahnya yang terasa cukup berat. Kakinya tergopoh-gopoh, sampai pada akhirnya tubuh munggil itu ambruk ke lantai. Reflek semua menjadi kaget. Ustadh Ali langsung mengendong Rukayya dan di bawa nya ke kamar.

"Panggilkan dokter, untuk memeriksa keadaan Rukayya," perintah Buya, sambil duduk di sebelah kanan Rukayya.

Sedangkan Ustadh Ali tengah sibuk menelpon Dokter agar cepat menangani istri nya.

"Bagaimana,  Li?" tanya Ummi Maryam dengan gundah.

"Belum di jawab Ummi."

"Telphon lagi, mungkin dokter tidak mendengarnya." Ummi Maryam semakin gundah, khawatir dengan kondisi Rukayya.

Selang 20 menit, seorang Dokter perempuan sampai di kediaman Buya Muzakki. Lalu dengan cepat mengeluarkan alat untuk memeriksa Rukayya, dan dua jarum suntikan. Setelah selesai memeriksa, Dokter itu memberikan sejumlah obat yang lumayan banyak.

"Rukayya hanya mengalami depresi, kalau tidak di berikan perawatan khusus, takut nya nanti semakin parah. Untuk kementara berikan saja obat-obatan ini. Jangan menekan pikirannya, karna itu bisa berakibat fatal bagi mentalnya nanti."

Semua yang ada di ruangan itu hanya mengangguk. Buya sangat merasa bersalah karna sudah menikahkan Rukayya dengan anaknya,  Ali.  Begitupun dengan Ustadh Ali, ia yang paling merasa bersalah, karna sudah memaksa Buya untuk menikahkan Rukayya dengan dirinya.

Buya mendekati Rukayya, seraya mengusap kepala Rukayya itu. Hatinya tak kalah hancur melihat kondisinya Rukayya saat ini. Maaf saja mungkin tak akan bisa membuat Rukayya memaafkan kesalahan itu.

"Abu tidak sepatutnya menikahkan mu dengan Ali. Kebahagian mu yang harusnya menjadi prioritas Abu. Naak, Abu sudah mengabaikan janji yang pernah Abu katakan pada Ayah mu dulu." ujar Buya, sembari terus mengusap kepala Rukayya.

Ustadh Ali hanya terpaku, hatinya masih cukup sakit, amarah nya juga belum padam. Ego nya masih bertamu di fikirannya. Ustadh Ali tetap belum bisa melihat apalagi menyadari kesalahannya. Karna memaksa untuk menikah dengan Rukayya.

***

Di bilik Gus Hilman. Ia masih sibuk mengemaskan beberapa barang yang masih tertinggal di bilik pondoknya itu. Pakaian dan beberapa Kitab Fiqih juga Tassawuf di kemas rapi di dalam tas miliknya. Gus Hanif juga membantu mengemas barang-barang itu. Walau pun Gus Hanif tidak sepintar Gus Hilman, tapi Gus Hanif selalu bersikap bijak sesekali. Karna memang Gus Hanif terlahir dengan sikap yang humoris.

"Man, nyapo ora golek wedok seng anyar?" ledek Gus Hanif, melihat adiknya yang masih murung bak sayur asem tanpa garam.

"Nyapo sampean seng sibuk?"

"Yo karep ku toh!"

"Yo podo, karep ku," jawab Gus Hilman dengan sinis.

Abah hanya mengulum senyum, melihat tingkah kedua anaknya itu. Lengkap sudah kebahagian Abah memiliki tiga anak yang memiliki keunikan sifatnya sendiri. Gus Hanif anak pertamanya, yang memiliki sifat humoris meski tidak seberapa pintar dalam ilmu agama. Aisyah Abdullah anaknya yang ke dua, sifat nya juga hampir persis seperti adiknya Gus Hilman. yang sudah menikah dan memiliki dua orang anak laki-laki. Dan yang terakhir Gus Hilman, ia pintar dalam berbagai ilmu agama, tapi sedikit dingin dan kaku.

"Mau berdebat apa mau berberes?" tanya Abah, sambil terus menatap kitab yang tengah di bacanya.

"Iya, Bah. Ini bang Hanif," ujar Gus Hilman, sambil melirik Abahnya.

"Niif,,, meneng."

"Iyo, Bah."

Suasana kembali hening. Yang ada hanya suara barang-barang yang berjatuhan. Bukan sengaja jatuh, tapi ulah Gus Hilman yang melampiaskan kekesalannya pada barang. Beberapa santri pun kerap kaget, karna suara jatuhan barang dari biliknya Gus Hilman.

"Gus, kenapaa?" tanya salah satu santri dengan wajah yang gelisah.

"Nggak apa-apa, Ndra. Ini barangnya terjatuh, karna saya megangnya nggak bener," elaknya, sambil melemparkan sedikit senyuman.

"Oh, baik lah Gus, apa boleh saya bantu?"

"Tidak usah, Indra. Ini sudah mau selesai."

Santri itu hanya mengangguk kemudian pergi meninggalakan bilik Gus Hilman. Usai mengemas semua barang. Gus Hilman beserta Abah dan Gus Hanif pun melangkahkan kakinya keluar dari bilik itu. Lalu berpamitan ke Buya Muzakki untuk kembali ke tanah kelahirannya. Mengabdi disana walau hanya sekedar membuang semua kenangan.

***

"Selamat tinggal duhai pemilik hati. Bahagia Lah bersamanya. Biarkan ku nikmati rindu ini sendiri."

Itulah bait rindu terakhir yang di sematkan di biliknya untuk Rukayya. Sebagai do'a agar Rukayya bisa bahagia dengan pernikahannya. Meski sangat berat, tapi hidup harus di jalani, meski hati menanggung rindu.

***

Bait Rindu sang MurabbiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang