Amora 25

2.5K 87 6
                                    

Sudah seminggu Amora Tidak sadarkan diri. Dengan setia Zero dan Zian rutin kerumah sakit untuk menjaga Amora, mereka tidak akan membiarkan Amora sendirian disana. Apalagi Amora di abaikan kedua orangtuanya, Sudah pasti Amora membutuhkan support untuk menyemangatinya.

Mereka duduk di samping brankar Amora, dengan kedua tangan Amora yang mereka genggam satu persatu.

Padahal Amora sudah mendapatkan pendonor darah, tapi entah kenapa gadis itu belum juga sadar masih dalam keadaan koma.

Bunyi pendeteksi detak jantung sangat nyaring, membuat mereka tersentak dan panik seketika.

"Apa yang terjadi?" panik Zero bangkit dari duduknya.

Zian memencet bel, hal ini harus segera di tangani dokter karna Zian tidak tau apa yang sebenarnya terjadi.

Tidak lama datang seorang dokter dan suster masuk kedalam ruangan tersebut. Mereka langsung memeriksa keadaan Amora dan menyuruh Zero beserta Zian keluar dari sana.

Mereka sangat mengkhawatirkan keadaan Amora. Tidak terfikir bagaimana nanti jika Amora tidak mampu bertahan dan memilih untuk menyerah dari kehidupan yang memaksanya menjadi dewasa sebelum waktunya.

Zero menarik rambutnya prustasi, sudah seminggu dia tidak pulang kerumah dan mengabaikan Alvia yang menghubunginya terus menerus, sekarang yang ada di fikiran Zero adalah Amora tidak ada yang lain.

Setelah menunggu cukup lama, mereka bergegas mendekati Dokter yang baru saja keluar dari ruangan tersebut.

"Bagaimana keadaan Amora, Dokter?" tanya Zero sudah sangat tidak sabar.

"Pasien sudah melewati masa komanya, sebentar lagi dia akan siuman" jawab Dokter tersebut.

Mereka menghembuskan nafas lega. "Syukurlah" ucapnya.

"Saya permisi!"

Setelah kepergian Dokter, mereka kembali masuk dan tersenyum melihat Amora yang masih menutup rapat kedua matanya. Meskipun Amora belum sadar, setidaknya Amora sudah berhasil melewati masa koma.

Jemari Amora perlahan bergerak membuat Zero dan Zian tersenyum lebar menanti kesadaran Amora yang sudah lama mereka tunggu.

Pandangan buram serta kepala yang terasa sangat pusing telah menyambut kesadaran Amora. Gadis itu mengerjapkan kedua matanya perlahan untuk menetralkan pandangannya.

"Amora, syukurlah lo sudah sadar" ucap Zian.

Amora menatap Zian dan Zero bergantian.

"Sayang, saya sangat senang kamu sudah sadar. Berjanjilah tidak mengulangi hal ini lagi" Zero mencium kening Amora.

Amora hanya diam saja. Dia berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi.

"Amora, lo kenapa?"

Gadis itu kini ingat semuanya. Dia telah tega menghabisi nyawa anaknya sendiri demi keegoisan.

Seketika air bening mengalir di wajahnya, tentu saja membuat Zero dan Zian bingung melihat itu.

"Apa yang membuat kamu menangis?" tanya Zero lembut mengusap airmata Amora.

"Maafkan kan aku! Aku seorang pembunuh" ucap Amora semakin menangis.

Zero mendekap tubuh Amora, mengelus punggung gadis itu untuk menyalurkan kekuatannya.

"Aku membunuh janin yang tidak bersalah, maafkan aku" ucap Amora terisak.

"Saya sudah memaafkan kamu, Amora. Jangan menangis lagi!"

"Tapi anak itu darah daging kamu"

"Tidak masalah. Saya sangat paham apa yang sedang kamu rasakan kala itu" Zero berusaha menenangkan Amora, dia tidak ingin Amora semakin merasa bersalah jika dia marah.

Amora mengusap sisa airmata yang masih membasahi pipinya.

"Ra, gue seneng liat lo sadar. Gue khawatir tau" ucap Zian.

Amora tersenyum tipis. "Lo jagain gue disini?"

"Iya, tapi setelah pulang sekolah" jawab Zian.

"Lo harus cepat sembuh, biar lo bisa sekolah lagi" Zian menatap wajah pucat Amora.

Amora menggeleng pelan. "Gue gak bisa sekolah lagi" jawabnya.

"Kenapa?"

"Gue mana punya uang buat bayar sekolah yang mahal, lo tau kan keadaan gue sekarang?"

"Kamu harus tetap sekolah, Saya yang akan membayar semua uang sekolah kamu" sahut Zero.

"Enggak. Aku ingin hidup bebas seperti remaja lain, tolong lepaskan aku. Aku janji, aku akan mencicil uang yang sudah kamu berikan ke Papa"

"Maksudnya apa?" tanya Zian belum mengerti.

"Gue di jual sama Papa, dan dia yang beli gue" jawab Amora jujur.

"Papa lo emang udah gila, Ra. Lo gak pantes manggil dia Papa"

"Dia tetap Papa kandung gue. sejahat apapun dia, gue tatap sayang"

Zero meraih tangan Amora dan menggenggamnya. "Saya akan membebaskan kamu, tapi berjanjilah setelah kamu dewasa kamu akan menikah dengan Saya"

"Ha?" kompak Zian dan Amora.

"Saya mencintai kamu, Amora. Saya ingin kamu yang menjadi pendamping hidup saya"

"Itu sama aja Om mengikat Amora" sahut Zian.

"Kenapa memangnya? Kamu juga mencintai Amora?"

"Iya. Amora pernah di jodohkan dengan aku"

"Itu dulu, tapi sekarang Amora milik Saya"

Amora memutar bola matanya malas, lalu meraih segelas air putih karna dirinya sangat haus.

"Kalian bisa diam gak?" kesal Amora.

Mereka langsung diam dan menatap Amora dengan seksama. "Maaf" ucapnya kompak.

"Zero, apa Tante Alvi__

"Sepertinya Dia masih di rumah, karna Saya tidak pulang sejak kamu masuk rumah sakit" sahut Zero.

"Tante Alvia tidak salah, Yang dia lakukan benar. Siapa yang tidak marah jika suaminya memiliki wanita lain?"

"Denger tuh kata Amora. Lebih baik Om lepaskan Amora dan biarkan Amora sama Aku" sahut Zian enteng.

"Tidak. Saya bertekad akan menceraikan Alvia"

"Kamu gila, hah? Tante Alvia istri yang baik, kamu tidak boleh seperti itu"

"Tapi saya tidak mencintainya. Apa kamu mau menikah dan menghabiskan masa tua bersama orang yang tidak kamu cintai?"

Amora diam, tapi bagaimanapun juga Alvia memang wanita baik.

"Om itu udah tua, dan gak cocok sama Amora yang masih muda. Amora cocoknya sama aku" ujar Zian membuat Zero kesal tetapi berhasil membuat Amora cekikikan.

"Apa kamu tidak tau kalau Saya masih Muda?"

"Oh ya? Buktinya Muka Om keriput"

"Berani sekali kamu__

"Udah udah, jangan mulai deh" lerai Amora.

"Menyebalkan sekali" kesal Zero.

Jika tidak di hadapan Amora, maka Zero sudah pasti membogem wajah Zian yang menyebalkan itu.




Yang belum nangis udah siap di bikin kejer kan?
Tunggu part selanjutnya.

Dia PenyelamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang