13. Mereka tak Peduli

26 3 0
                                    

Hai semua selamat membaca dan jangan lupa vote dan komennya ❤️

“BISA NGGAK SIH KAMU BAHAGIAIN KITA SEBAGAI ORANG TUA?” Kalau dinding rumah punya telinga, sudah pasti dinding itu akan menutup telinganya karena tidak kuat dengan teriakan Rizal, Papa Rena, yang sangat kencang itu.

“JANGAN BISANYA BUAT MALU AJA!”

Rena berlutut di hadapannya sambil menangis. Sejak Papanya kembali dari sekolah, ia langsung memarahinya habis-habisan.

“Kita cuma mau kamu dapat nilai bagus Rena, bukan jadi anak nakal yang memberontak gini!” Mamanya ikut memarahinya.

Rena menangis tersedu-sedu. “T-Tapi... Rena melakukan ini demi nilai...”

“NILAI APANYA RENA? APA NILAI KAMU LANGSUNG BAGUS SETELAH MEMBERONTAK? NGGAK KAN? YANG ADA KITA SURUH GANTI RUGI! SEPULUH JUTA KAMU PIKIR ITU UANG YANG SEDIKIT?!” Rizal kembali memarahinya.

Orang tuanya tak sadar kalau hal yang mendorong dirinya melakukan hal ini karena ulah mereka sendiri yang terlalu memaksa dirinya dapat nilai bagus.

“Kalau nilai kamu mau bagus, belajar yang benar! Bukan malah melakukan aksi nggak jelas! Kamu pikir kamu keren, hah?!” Mamanya memijat keningnya frustrasi.

“Rena udah berusaha belajar yang benar, Ma, Pa. Tapi percuma kalau gurunya sengaja kecilin nilainya.” Rena masih membela dirinya meski ia tahu kalau mereka tidak akan percaya.

“Mama nggak percaya. Teman dekat kamu si Alvian, nilainya kenapa tetap bagus di saat banyak murid nilainya jelek? Ya karena dia pintar makanya nilainya bagus! Dan kamu Rena, nilai kamu jelek ya harus belajar lebih serius lagi, bukan malah menyalahkan guru kamu!”

“Rena udah belajar yang benar, Ma, Pa!”

“Alah! Buktinya nilai kamu masih jelek!”

“Kenapa kalian nggak pernah peduli sama perjuangan Rena?” tanya Rena pada kedua orang tuanya itu. Dadanya sesak kala mengatakannya, ia merasa semua yang ia lakukan tidak pernah dihargai.

Rizal menatap anak tunggalnya itu dengan tatapan tak terima. “Apa kamu bilang? Kita nggak pernah peduli? Lalu kita yang sekolahin dan masuki kamu ke bimbel itu kamu anggap apa? Apa kedua itu nggak cukup untuk mengatakan kalau kita peduli sama kamu?!”

“Tapi kalian... nggak pernah peduli sama perjuangan Rena...” ucapnya lirih. “Kalian nggak pernah lihat apa yang sudah Rena lakukan demi dapat nilai bagus. Rena akan ngelakuin apa pun seperti ikut aksi bersuara itu demi nilai! Demi kalian!”

*****

Pandu membantu ibunya turun dari motor, memapahnya masuk ke dalam rumah, lalu menuntunnya untuk duduk di atas karpet ruang tamu. Laki-laki itu menatap nanar wajah ibunya yang mulai keriput di usianya yang sudah 37 tahun. Rautnya tampak lelah dan penglihatannya kosong. Nafas ibunya memberat.

Pandu sungguh merasa bersalah karena melibatkan ibunya ke masalah ini. Ibu pasti pusing memikirkan bagaimana mencari uang sepuluh juta dalam waktu tiga hari. Sejujurnya ia tak mau berada di posisi sini, kalau boleh mengulang waktu, ia tidak akan ikut aksi bersuara.

“Maafin Pandu, Bu.” Pandu akhirnya membuka suara.

Air mata ibunya langsung menetes ketika Pandu meminta maaf. Mata lelahnya menatap Pandu kecewa. “Kamu tahu apa yang ibu pinta kan, Pan?” tanya ibunya dan tentu Pandu mengingatnya.

“Cukup Pandu jadi anak baik,” jawab Pandu pelan.

Ibunya mengangguk. “Iya itu. Tapi kenapa kamu melakukan aksi ini?”

“Karena mau nilai Pandu naik.”

“Tapi kamu tahu kan ibu nggak pernah menuntut kamu dapat nilai bagus?” Sesak, itulah yang dirasakan oleh Pandu ketika mendengar ucapan ibunya. Harusnya ia senang tidak dituntut seperti Alvian dan Rena tapi entah mengapa dirinya malah merasa ibunya tidak pernah menaruh harapan padanya.

OMONG KOSONG KITA (Sistem Sekolah yang Rusak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang